Sukses

Sudahkah Kita Mencintai Anak tanpa Syarat?

Bagi orangtua pada umumnya, anak merupakan sosok yang menjadi tumpahan rasa cinta di sepanjang hidupnya

Liputan6.com, Jakarta Anak sering di sebut sebagai buah hati orangtuanya. Pernyataan ini adalah untuk menunjukkan bahwa  bagi orangtua pada umumnya, anak merupakan sosok yang menjadi tumpahan rasa cinta di sepanjang hidupnya. Dengan kasih yang besar, orangtua merawat dan membesarkan anak sejak masih dalam kandungan, kemudian dilahirkan, menjalani masa kanak-kanak dan remaja, bahkan hingga masa dewasa.

Meskipun tampak sangat populer, mencintai, termasuk pada anak, tidaklah semudah kelihatannya. Mencintai menjadi tidak mudah karena seringkali tumpang tindih dengan kepentingan-kepentingan pribadi. Apa yang kemudian diklaim sebagai mencintai seringkali hanyalah sebuah cara halus untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi. Karena begitu kompleksnya, hal seringkali berlangsung dalam waktu yang lama, tidak disadari, dan kemudian menjadi cara pandang dan bahkan  cara hidup seseorang.

Untuk mengetahui apakah cinta yang diberikan merupakan cinta yang sejati ataukah hanyalah hasrat pemenuhan kebutuhan diri yang diselubungi cinta yang sering disebut sebagai cinta bersyarat, sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Jika seseorang sering merasa kecewa dan marah karena merasa “dirugikan” saat mencintai, hal ini dapat menjadi indikasi yang jelas bahwa yang terjadi adalah hasrat memenuhi kebutuhan diri bukan cinta yang sebenarnya. Misalnya saja ketika orang yang dicintai tidak mampu atau tidak mau membalas atau tidak memilih seperti yang menjadi harapannya, dia akan segera menjadi kecewa dan marah. Tentu saja dalam kehidupan sehari-hari, perspektif ini bersifat kontinum. Artinya tidak bisa dipilah begitu saja bahwa cinta seseorang semata-mata adalah cinta yang sejati atau hanyalah hasrat pemenuhan kebutuhan diri. Cinta sejati dan hasrat pemenuhan kebutuhan diri menjadi dua kutub yang berbeda yang dihubungkan dengan sebuah garis. Setiap orang akan berada di titik tertentu pada garis tersebut. Saat seseorang berkata bahwa dia mencintai seseorang, ada yang mungkin cenderung ke arah pemenuhan kebutuhan diri dan ada juga yang posisinya mendekati kutub cinta sejati.

Jika seseorang dalam mencintai orang lain, termasuk pada anaknya, cenderung hanya ke arah memenuhi kebutuhan diri atau cinta bersyarat, ada konsekuensi negatif yang biasanya terjadi. Yang pertama, seperti yang disampaikan sebelumnya, adalah akan sering munculnya berbagai perasaan negatif seperti kecewa, marah, dan semacamnya. Perasaan ini sebenarnya muncul karena ada ancaman untuk terusiknya pemenuhan kebutuhan diri. Karena hasrat pemenuhan kebutuhan diri ini telah mengikatnya dengan sangat kuat, terusiknya pemenuhan kebutuhan diri tersebut akan menimbulkan berbagai emosi dan perasaan negatif seperti marah, kecewa, sedih, dan semacamnya. Karena pada kenyataannya kita tidak akan mampu menjadikan seseorang yang kita cintai selalu memenuhi harapan kita, cinta bersyarat selalu berpotensi memunculkan berbagai perasaan negatif tersebut. Selain itu, kemunculan berbagai emosi dan perasaan negatif tersebut menunjukkan ketidakmatangan diri serta semakin lama akan mempengaruhi kesehatan baik secara fisik maupun secara psikologis.

Konsekuensi negatif yang kedua dari cinta bersyarat terkait dengan orang yang menjadi sasaran cinta yang sebenarnya hanyalah hasrat memenuhi kebutuhan diri tersebut. Bagi mereka yang mendapatkan cinta bersyarat, kehidupan mereka seringkali berada pada situasi tertekan. Tekanan tersebut muncul karena adanya keinginan yang kuat dari orang lain untuk menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Orang-orang seperti ini akan terpaksa menjalani kehidupan semata-mata demi memenuhi keinginan orang lain. Keinginan tersebut sangat sulit ditolak karena berasal dari orang-orang yang sangat penting dalam hidupnya misalnya orangtuanya. Mereka bisa saja melakukannya dalam jangka waktu yang lama sehingga sampai mereka sendiri tumbuh menjadi pribadi yang tidak tahu apa yang mereka inginkan. Pribadi seperti ini akan tumbuh menjadi pribadi yang sangat tergantung pada orang lain dalam segala hal dan hampir tidak adanya bedanya dengan robot yang hanya bergerak jika menerima program dari luar.

Agar dapat mengantisipasi munculnya berbagai hal negatif karena cinta bersyarat, orangtua perlu belajar memberikan cinta tanpa syarat pada anak-anaknya. Cinta tanpa syarat ini dapat dilakukan saat orangtua mampu menyadari dan berusaha membebaskan diri dari kepentingan-kepentingan dirinya. Saat kemudian muncul, kepentingan diri ini perlu di wapadai karena seringkali terselubung dalam berbagai ungkapan seperti “cinta pada anak”, “demi kepentingan anak” dan sebagainya. Baru jika orangtua mampu membebaskan diri dari belenggu hasrat pemenuhan kebutuhan diri semata, cinta yang diberikan adalah cinta yang tulus dan tanpa pamrih. Dan bukankan demikian semestinya cinta orangtua: hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia

 

Yohanes Heri Widodo, M.Psi, Psikolog

Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Pemilik Taman Bermain dan Belajar Kerang Mutiara, Yogyakarta