Liputan6.com, Jakarta Ian Crozier, dokter Amerika berusia 44 tahun, terjangkit virus Ebola saat bekerja di sebuah rumah sakit di Sierra Leone. Dia dirawat di Emory University Hospital selama lebih dari sebulan pada September lalu. Ian dinyatakan sebagai salah satu pasien Ebola terparah yang dirawat di sana, dilansir dari CNN, Minggu (10/5/2015).
Ian dinyatakan sembuh dan keluar dari rumah sakit di bulan Oktober. Dua bulan kemudian dia merasa matanya bermasalah dan kembali ke Emory. Dokter menusukkan jarum di matanya dan mengambil sejumlah cairan yang setelah dites terbukti positif mengandung virus Ebola.Â
Baca Juga
"Sebagai tindak lanjut pemulihan dari penyakit virus Ebola, pasien harus diperiksa kondisi matanya, seperti nyeri, kemerahan, sensitivitas ringan, dan pandangan kabur yang bisa jadi adalah tanda uveitis," kaya Steven Yeh, rekan profesor ophthalmology di Emory University School of Medicine.Â
Advertisement
Uveitis adalah inflamasi di selaput tengah mata. Ebola juga bisa hidup dalam air mani berbulan-bulan setelah bersih dari darah.Â
Walaupun virus ebola tersebut bersarang di mata, hasil penelitian sampel air mata dan membran luar mata dinyatakan negatif. Artinya pasien tidak berisiko menyebarkan penyakit tersebut saat melakukan kontak dengan orang lain, tegas pihak rumah sakit Emory.
Pihak rumah sakit Emory tidak menyebutkan nama pasien, tapi surat kabar The New York Times mencantumkannya. Begitu pula dengan The New England Journal of Medicine yang menerbitkan studi kasus itu.Â
Walaupun pasien tidak berisiko menyebarkan virus, semua penyedia jasa kesehatan yang pernah menangani pasien Ebola, termasuk dokter mata, harus mengikuti protokoler keselamatan Ebola, kata Jay Varkey, asisten profesor di Emory University School of Medicine.
Ketika virus Ebola ditemukan di mata Ian Crozier, matanya mulai kehilangan warna birunya, kata Ian pada surat kabar.Â
Bingung dengan hal ini, para dokter akhirnya mencoba bentuk pengobatan lain mengingat Ian baru pulih dari terjangkit Ebola.
Dokter memberinya suntikan steroid di atas bola mata dan menyuruhnya minum pil antiviral experimental yang memerlukan persetujuan khusus dari Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika, tulis Times.Â
Mata Ian perlahan kembali normal, tapi belum jelas apakah itu berkat suntik steroid, pil, atau sistem kekebalan tubuhnya sendiri.Â
Sementara itu para survivor Ebola di Afrika Barat dikabarkan mengalami masalah pada mata. Namun tidak jelas seberapa parah kondisinya dan seberapa sering terjadi. Emory menyarankan agar pasien harus dimonitor perkembangan gejala pada mata seperti rasa sakit, kemerahan, sensitivitas terhadap cahaya, dan pandangan kabur.Â
Ian berharap kasusnya bisa membawa pencerahan terhadap tantangan besar yang dihadapi para survivor Ebola.Â
"Anda bisa bayangkan seorang survivor Ebola yang telah melalui perjuangan pribadinya," kata Ian. "Dan saat mereka keluar dari kondisi itu, mereka harus mendapati kemungkinan menjadi buta. Hal ini harus menjadi perhatian kita," lanjutnya.
Selama lebih dari setahun lalu, sekitar 25.000 orang terinveksi Ebola. Lebih dari 10 ribu orang meninggal dunia, terutama yang berasal dari negara-negara di Afrika Barat seperti Liberia, Sierra Leone, dan Guinea.
Meski intensitas epidemi Ebola terbesar dalam sejarah telah mulai berkurang, masih saja ada pasien baru yang terinfeksi setiap minggunya.
Setidaknya ada 18 kasus Ebola baru di penghujung minggu pertama Mei seperti dilaporkan badan kesehatan dunia, WHO. Semuanya berlokasi di Guinea dan Sierra Leone.
Seiring dengan berkurangnya kasus Ebola baru, masih banyak kasus pasca pulih dari penyakit ini yang belum diketahui.