Sukses

Surat Terbuka dari Para Aktivis dan Ilmuwan untuk Jokowi

Akademisi dan aktivis Indonesia mengimbau respon berbasis bukti dengan pendekatan kesehatan masyarakat untuk penggunaan narkotika

Liputan6.com, Jakarta Dalam surat terbuka yang diterbitkan kemarin di Jurnal Ilmiah ternama The Lancet dan ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Bapak Joko Widodo, sekelompok akademisi dan aktivis yang berkompeten di bidang Kesehatan Masyarakat, Narkotika, dan Kemanusiaan dan HAM mengimbau komitmen pemerintah untuk menguji pendekatan Kesehatan Masyarakat dan HAM pada kasus penggunaan narkotika dan segera menghentikan strategi “perang melawan narkotika” menggunakan rehabilitasi paksa dan hukuman mati yang telah terbukti tidak efektif di negara asalnya, Amerika Serikat.

“Pemerintah Indonesia yang makin serius dalam menangani penggunaan napza dan menjamin kesejahteraan penduduknya, harus memilih strategi-strategi kesehatan masyarakat dan pengurangan dampak buruk. Pendekatan “perang melawan narkotika” seperti ini telah terbukti gagal di berbagai negara lain di dunia, bahkan menyebabkan lebih banyak masalah dibandingkan membantu menyelesaikan masalah”, ujar Prof. Dr. Irwanto, di Pusat Penelitian HIV dan AIDS Unika Atma Jaya, seorang pengamat dan peneliti masalah narkotika dan HIV yang sudah sangat berpengalaman di Indonesia.

“Kita sebenarnya tahu intervensi apa yang telah berhasil: kita sudah memiliki buktinya dan telah mengimplementasikan program-program berbasis kesehatan yang secara empirik telah diteliti dan memberikan hasil positif sejak awal 2000an. Kita memiliki kewajiban etis untuk menyediakan pilhan-pilihan yang dapat menyelamatkan nyawa, seperti program penyediaan dan penukaran jarum dan alat suntik steril, terapi substitusi opioid, serta perawatan (adiksi) napza yang sukarela dan berbasis komunitas. Tapi bukti-bukti ini tidak memperoleh perhatian yang cukup serius dalam menentukan komitmen politik dan pendanaan kita untuk mengatasi masalah terkait narkotika. Kebijakan yang ada tidak menyediakan ruang dan peran bagi program kesehatan secara bermakna. Dana kita yang terbatas justru digunakan untuk pendekatan berbasis rasa takut yang akan mendorong orang-orang yang membutuhkan rawatan semakin jauh dari program kesehatan,” ujar Dr. Ignatius Praptoraharjo, peneliti dari Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.

Para penulis surat sepakat bahwa melakukan estimasi terhadap besaran masalah narkotika dan berbagai implikasinya tidaklah mudah. Terutama ketika penanggulangan masalah ini telah sekian lama didominasi oleh strategi kriminalisasi yang membuat populasi yang teribat makin tersembunyi. Oleh karena itu validitas dari estimasi yang digunakan menjadi persoalan. Tidak ada resep mujarab yang menentukan validitas estimasi yang digunakan. Setiap estimasi harus diuji validitasnya melalui validasi lapangan yang memerlukan waktu.

Para penulis khawatir bahwa pemerintah dan (dalam hal ini) BNN belum memberikan cukup waktu dan kesempatan bagi data yang dikumpulkan oleh peneliti UI untuk memperoleh input para ahli yang independen sehingga estimasi dapat disepakati secara nasional dan digunakan sebagai basis kebijakan nasional.

Karena itu kami mengimbau diciptakannya proses yang transparan dan melibatkan mitra bestari ahli secara nasional sebelum data tersebut digunakan untuk menentukan bahwa Indonesia sedang terancam oleh situasi “darurat narkotika nasional”.

Kami mohon kepada Bapak Presiden Jokowi untuk menangani masalah narkotika ini dengan melibatkan ahli-ahli terbaik di negeri ini secara bersama-sama.

“Kita perlu memastikan bahwa kebijakan nasional ditentukan oleh sebuah proses yang transparan dan peer-reviewed terhadap bukti-bukti yang dikumpulkan Estimasi terhadap persoalan narkotika di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai pihak dan ada indikasi penurunan. Meskipun demikian, data-data baru tersebut belum tercermin dalam kebijakan yang ada saat ini. Kami percaya bahwa pemerintah tidak akan menyia-nyiakan asupan konstruktif dalam semangat mengatasi masalah narkotika bersama-sama. Setiap nyawa manusia sangat berharga. Kita semua tidak mau nyawa manusia yang produktif sia-sia karena narkotika atau karena kebijakan negara yang tidak didasarkan atas data dan informasi terbaik“ ujar Profesor Dr Irwanto.

Pengguna narkotika telah lama menghadapi stigma dan diskriminasi keluarga dan masyarakat. Perlakuan negatif ini akan lebih parah jika kebijakan publik menekankan rasa takut dan tindakan-tindakan represif yang sangat berpotensi melanggar hak-hak asasi manusia. Karena jumlah pecandu jauh lebih banyak dibanding dengan produsen dan pengedar (yang menjadi musuh sebenarnya), banyak negara telah bergeser ke arah kebijakan berbasis kesehatan masyarakat dan HAM. “Infeksi HIV (di Indonesia) akan terus meningkat selama pengguna napza terus hidup dalam ketakutan akan penangkapan atau penempatan dalam rehabilitasi wajib/non-sukarela,” ujar Dr. Kemal Siregar, Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional.

Para penandatangan surat terbuka ini menganjurkan berdirinya sebuah komisi penggunaan narkotika adhoc yang independen dan multi-sektoral, yang terdiri dari wakil-wakil lembaga pemerintah yang relevan, kementerian-kementerian terkait, para peneliti, penyedia layanan, serta tokoh masyarakat, yang bertugas untuk meninjau data yang tersedia terkait napza, menetapkan prioritas kegiatan, merekomendasikan tindakan-tindakan berbasis bukti, serta memonitor perkembangan kegiatan tersebut.

“Sebagai mantan pengguna narkotika kami telah menyaksikan dan merasakan bahwa pendekatan yang represif dan punitif justru memperbuurk situasi dan kondisi yang kami hadapi. Banyak saudara kami telah meninggal dunia karena kurangnya fasilitas rawatan dan rehabilitasi dan takut untuk terbuka masalahnya ketika mencari bantuan,,” tambah Edo Agustian, Koordinator Nasional Persaudaraan Korban napza Indonesia.

“Kami mendorong pemerintah untuk bekerja sama dengan komunitas pengguna napza, akademisi, serta pemangku kepentingan lainnya untuk membangun respon yang lebih efektif sebelum lebih banyak nyawa harus hilang.”

Penanda-tangan:

Prof.Dr. Irwanto, PhD, Peneliti dan pengamat senior di Pusat Penelitian HIV/AIDS Unika Atma Jaya;

Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia;

Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, cendekiawan Muslim dan Ketua Konferensi Indonesia untuk Agama dan Perdamaian;

Prof.Dr. D.N. Wirawan, Kepala Program Pascasarjana Kesehatan Masyarakat di Universitas Udayana;

Dr. Ignatius Praptoraharjo, Ph.D, peneliti dari Pusat Kebijakan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada;

Dr. Robet Robertus, Kepala Departemen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta;

Edo Agustian, Koordinator Nasional Persaudaraan Korban Napza Indonesia;

Haris Azhar, Koordinator Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan);

Dr. A. Setyo Wibowo, dosen dan Kepala bagian Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara;

Rafendi Djamin, perwakilan Indonesia di Komisi Antar-Pemerintah ASEAN, beserta penandatangan lainnya.