Liputan6.com, Jakarta Orang dengan HIV (ODHA) di Ambon dan Klaten diresahkan dengan putusnya stok obat ARV selama beberapa kali dalam kurun waktu dua bulan ini. Obat ARV adalah obat yang harus dikonsumsi seumur hidup oleh ODHA guna menekan tingkat HIV dalam tubuh. Selain sebagai peningkat kualitas kesehatan ODHA, obat ini juga mencegah penularan. Jadi ODHA yang rajin mengkonsumsi ARV, tingkat HIV dalam tubuhnya bisa ditekan sehingga ia tak akan menularkan HIV kepada orang lain.
Ketiadaan stok obat ARV ini sangat berbahaya bagi ODHA. Sebab obat yang harus dikonsumsi teratur setiap harinya tidak boleh terputus dikonsumsi. Jika terputus akan menimbulkan potensi resistensi obat sehingga obat jenis tersebut tidak mempan lagi di tubuh pasien dan bisa mengembangkan tipe HIV yang resisten sehingga sangat berbahaya jika sampai menular.
LSM Indonesia AIDS Coalition (IAC) yang membuka ruang pelaporan stok ARV di Facebook dengan nama Group Monitoring ARV, menerima laporan dan keluhan dari ODHA-ODHA di Ambon dan Klaten terkait kekosongan ini. Jenis ARV yang kosong adalah jenis Fixed Dose Combination untuk Klaten dan jenis Fixed Dose Combination, Evafirenz dan Tenofovir untuk di Ambon.
Kekosongan ini bukan pertama terjadi. LSM IAC mencatat, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, setiap tahun pasti terjadi 10-15 kasus kekosongan obat ARV di beberapa rumah sakit di Indonesia. Kondisi ini sangat membahayakan sebab selain mengancam nyawa ODHA juga berpotensi menyebabkan merebaknya virus yang resisten dengan obat ARV sehingga makin menyulitkan pengendaliannya.
Seorang ODHA di Ambon bernama Evilin mengatakan bahwa dia dan teman-temannya sudah dari hari kamis minggu kemarin sudah tidak meminum obat ARV ini. Hal ini dikarenakan stok obat ARV di Rumah Sakit Dr. M Haulussy sudah dari dua minggu lalu kosong. Persoalan ini pun bukan baru kali pertama terjadi di RS di Ambon ini.
“Kelihatannya pemerintah kita terlalu mementingkan aspek kualitas daripada kualitas dalam pengobatan ODHA. Mereka terpacu dengan target sekian puluh ribu orang harus di tes dan diberi obat ARV namun seolah tidak peduli dengan kasus-kasus kekosongan obat ARV yang bisa mengancam nyawa ODHA.”, kata Irwandy Widjaja, ARV monitoring officer di LSM IAC.
Penyebab kekosongan ini, berdasarkan pendataan IAC, terjadi karena banyak hal. Mulai dari terlambatnya pelaporan RS ke kemenkes, salahnya pengisian laporan, salah kalkulasi dan hal teknis lainnya yang sebenarnya bisa dengan secara mudah diatasi jika Kemenkes mempunya sistem distribusi obat yang baik.
Kekosongan obat ARV ini juga adalah salah satu bentuk pemborosan keuangan negara. Karena obat ARV selama ini dibeli dengan dana APBN dengan tujuan menurunkan tingkat kematian serta menyehatkan ODHA. Namun nyatanya jika kerap kali terjadi kekosongan semacam ini, maka investasi negara sebesar kurang lebih 300 milyard rupiah setiap tahunnya bisa berkurang manfaatnya.
Kementerian kesehatan dan dinas kesehatan harus benar-benar serius menanggapi keluhan para ODHA ini. Kekosongan obat ARV selain mengancam nyawa juga berbahaya bagi kesehatan publik secara umum jika sampai terjadi penyebaran virus yang sudah resisten dengan obat ARV ini. Pemerintah diharapkan mau duduk bersama dengan layanan RS serta ODHA sebagai pasien untuk bersama-sama merumuskan mekanisme yang mampu mencegah situasi kekosongan obat ARV semacam ini.