Liputan6.com, Jakarta Tidur menjadi salah satu kebutuhan penting yang dapat menunjang kesehatan bagi setiap orang. Karena itu, kebutuhan tidur haruslah cukup. Sayangnya, tak sedikit orang yang sulit tidur. Kalau Anda kesulitan tidur, coba ingat lagi penyebabnya. Jangan-jangan Anda habis bertengkar dengan pasangan.
Banyak hal yang bisa membuat seseorang menjadi sulit tidur. Bertengkar dengan pasangan salah satunya. Ternyata, sulit tidur pun bisa menimbulkan pertengkaran pada pasangan. Setidaknya hal ini ditunjukkan dari hasil sebuah studi yang muncul beberapa waktu lalu. Mengalami sulit tidur tampaknya dapat membuat suatu hubungan menjadi penuh rintangan.
Studi tersebut, seperti disebutkan dalam situs WebMD, dipresentasikan bulan Juni lalu dalam konferensi SLEEP 2011 di Minneapolis, AS. Dalam penelitian tersebut dijumpai bahwa perempuan yang sulit tidur cenderung lebih sering melaporkan interaksi negatif dengan pasangannya keesokan harinya.
Baca Juga
Studi ini melibatkan 35 pasangan menikah yang sehat dengan rata-rata usia 32 tahun. Mereka kemudian diminta menggunakan sensor yang memonitor gerakan selama 10 malam.
Advertisement
Sepanjang hari, pasangan diminta untuk menulis catatan secara rinci bagaimana mereka berhubungan. Mereka kemudian menilai seberapa kuat mereka merasakan hal positif seperti perasaan kedekatan dengan pasangan dan iya-tidaknya membicarakan perasaan mereka dengan pasangannya. Untuk hal negatif, mereka ditanya seberapa sering mereka merasa dikritik, diabaikan, atau mengalami adu argumen.
Banyak hal negatif
Dari catatan tersebut terlihat bahwa ketika perempuan sulit tidur di malam hari, mereka cenderung banyak melaporkan hal-hal yang lebih negatif. Kondisi itu membuat interaksi positif dengan pasangan di keesokan harinya menjadi lebih sedikit.
Hal serupa juga dirasakan oleh para suami. Mereka mencatat bahwa ketika pasangannya tidak bisa tidur, interaksi positifnya menjadi berkurang. Yang menarik, ketika suami sulit tidur atau waktu tidurnya hanya sedikit, nyatanya tidak berdampak pada interaksi mereka dengan pasangan.
Selain itu, dari studi tersebut juga dijelaskan bahwa perempuan cenderung lebih sensitif dengan pasang-surutnya sebuah hubungan. “Memang, mereka cenderung lebih komunikatif saat mereka merasa stres,” kata Wendy Troxel, Ph.D, asisten profesor psikiatri di University of Pittsburgh School of Medicine.
Dengan demikian, fakta bahwa gangguan tidur pada wanita memengaruhi diri dan pasangannya pada keesokan harinya bisa dikatakan sebagai bentuk keekspresifan perempuan.
Lauren Hale, Ph.D, ahli tidur dari New York, merasa hal itu tidak terlalu mengejutkan. “Saya rasa kita melihat hal tersebut dalam diri kita masing-masing. Namun, kebanyakan dari kita menyadari kalau tidak bisa tidur, bisa menjadi sosok yang menjengkelkan bagi orang lain,” ujar asosiate profesor di Stony Brook School of Medicine, Stony Brook, New York itu.
Advertisement
Pria lebih menahan emosi
Hal ini berbeda dengan pria yang cenderung dapat menahan emosi negatifnya. William J. Strawbridge, Ph.D, sependapat dengan hal itu.
Profesor di Institute for Health and Aging, University of California, San Francisco, AS ini menegaskan kalau pria memang tidak suka membicarakan hal negatif atau ketidakpuasaannya terhadap pernikahan.
“Kami ini lebih tabah dan tidak terlalu sensitif dengan hal itu. Interaksi dalam sebuah pernikahan itu nyatanya memang lebih penting bagi perempuan daripada pria,” kata William.
Hanya saja, catatannya, kaum Adam justru menilai pernikahannya lebih positif saat mereka kurang tidur. “Bagi pria,” lanjut William, “secara rata-rata, saat mereka mencatat fungsi pernikahan lebih tinggi adalah ketika mereka lebih sering melakukan aktivitas seksual. Jadi tidak sama dengan perempuan.”
Yang juga penting untuk disimak, menurut Wendy, durasi tidur yang lebih pendek itu sendiri tidak selalu berarti tidurnya buruk. “Pasangan yang memiliki interaksi lebih positif sepanjang hari bisa jadi malah terlibat dalam aktivitas lain di tempat tidur pada malam hari,” tambahnya.
Meski demikian, apapun hasil yang diperoleh, Hale menegaskan pentingnya cukup tidur. “Tidur sebaiknya menjadi prioritas. Bukan hanya agar kita bisa melakukan aktivitas dengan baik, secara fisik maupun kognitif, tetapi juga secara emosional dan sosial,” ujar Hale.