Liputan6.com, Jakarta Pakar kesehatan meminta pemerintah lebih gencar menyosialisasikan penggunaan masker penangkal asap yang benar dan layak kepada masyarakat di daerah bencana asap akibat kebakaran lahan dan hutan karena masker medis yang selama ini dibagikan tidak aman.
"Masker tipis yang selama dibagi-bagikan dinas kesehatan tidak sesuai dengan kondisi udara yang tercemar asap, apalagi levelnya sudah berbahaya. Sudah saatnya pemerintah memberikan contoh yang benar, stop lakukan pembodohan," kata pakar kesehatan dr Mardiansyah Kusuma, Sp.Ok kepada Antara di RS Syafira, Pekanbaru, Selasa.
Dokter spesialis okupasi itu mengatakan bahwa masker tipis yang selama ini dibagikan pemerintah melalui dinas kesehatan setempat ketika kabut asap terjadi merupakan masker standar untuk bedah.
Advertisement
Masker itu digunakan untuk menangkal cipratan darah, liur, maupun bakteri dari pasien agar tidak langsung mengenai dokter maupun paramedis.
"Asap masih bisa masuk dari sela-sela masker, yang ideal adalah masker jenis N95 yang mencengkram erat seluruh sela-sela hidung dan mulut," katanya.
Ia mengatakan pemerintah yang terus memberikan masker standar bedah itu membuat masyarakat terbiasa membeli masker tipis tersebut.
Organiasasi kemasyarakatan dan pihak swasta juga ikut membagikan masker tipis itu karena kurangnya pengetahuan.
Ia memahami bahwa Dinas Kesehatan Riau mendapatkan bantuan masker tersebut dari Kementerian Kesehatan RI dan pengadaan masker N95 kerap terkendala karena harganya jauh lebih mahal dari masker bedah.
"Kesehatan memang mahal dan membiasakan masyarakat untuk menggunakan masker yang benar adalah tanggung jawab pemerintah. Bencana asap bukan seperti tsunami dan gunung meletus yang langsung membinasakan orang, tapi akumulasi dari paparan asap berbahaya ini secara akumulasi akan meningkatkan risiko kanker pada 10-20 tahun kedepan," katanya.
Dalam kondisi polusi asap di level berbahaya, lanjutnya, warga yang sangat rentan terkena penyakit asap mulai dari bayi, manula dan ibu hamil seharusnya dievakuasi ke tempat dengan udara lebih bersih.
Meski begitu, upaya tersebut akan sulit dilakukan pemerintah karena membutuhkan dana dan sumber daya yang tidak sedikit.
"Pilihannya ada dua, yakni memindahkan warga yang rentan menjauhi lokasi asap dan yang kedua adalah memindahkan segera asapnya. Upaya kedua berarti pemerintah harus bekerja lebih serius menangani kebakaran yang menjadi sumber asap berbahaya ini," katanya.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Andra Sjafril mengatakan pihaknya sejak lama berupaya meminta bantuan masker jenis N95 kepada Kementerian Kesehatan RI.
"Kita terus minta, tapi kita tidak pernah dapat," ujar Andra ketika dihubungi Antara.
Ia mengatakan, Dinas Kesehatan Riau telah mengirim surat permohonan bantuan masker sebanyak 300 ribu melalui Pusat Penanggulangan Krisis Direktorat Pencegahan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL).
"Dari jumlah tersebut, sebanyak 50 persen adalah permintaan untuk masker N95. Masker itu lebih cenderung untuk pencegahan penyakit menular," kata Andra.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Riau, sekitar 15.234 warga telah menderita berbagai penyakit akibat pengaruh kabut asap kebakaran lahan dan hutan selama terjadinya kebakaran yang parah pada dua bulan terakhir.
Warga paling banyak menderita infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) yang jumlahnya mencapai 12.262 orang.
Jumlah tersebut merupakan warga Riau yang berobat mulai tanggal 29 Juni hingga 7 September.
Selain terkena ISPA, banyak warga juga menderita gangguan kesehatan lainnya akibat asap seperti Pneumonia 324 orang, asma 513 orang, iritasi mata 879 orang, iritasi kulit 1.256 orang.
Sementara itu, Ketua Komisi Kebijakan Publik dan Politik pada Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Riau Yopi Pranoto meminta pemerintah untuk lebih serius menangani masalah kebakaran dan asap karena sebagian daerah Provinsi Riau kini dibuat tidak layak huni akibat polusi udara yang mencapai level berbahaya.
Menurut dia, seharusnya Pelaksana Tugas Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman berani menyatakan Riau darurat asap agar bantuan dari pemerintah pusat lebih mudah prosedurnya.
"Pemerintah seharusnya juga memberikan insentif kepada warga yang sakit karena asap," ujar Yopi.