Sukses

Ahli Herbal Tiongkok Kuno Raih Nobel Kedokteran 2015

Tu mengembangkan tanaman Artemesia annua sebagai obat anti malaria, yang memang telah digunakan masyarakat Tiongkok berabad-abad lalu.

Liputan6.com, New York- Salah satu pemenang Nobel Prize di bidang kedokteran 2015, Youyou Tu ternyata menggunakan kekayaan pengobatan Tiongkok Kuno sebagai bahan dasar obatnya. Tu mengembangkan tanaman Artemesia annua sebagai obat antimalaria, yang memang telah digunakan masyarakat Tiongkok sejak berabad-abad lalu.

Awalnya malaria bisa diatasi dengan kina. Pada tahun 1950-an, obat kina tersedia di banyak tempat dan kematian akibat malaria menurun secara drastis di Afrika. Namun kemudian pengobatan malaria menggunakan kina menjadi resisten menurut Principals and Practices of Infectious Disease. Hal tersebut menyebabkan upaya pemberantasan malaria gagal dan penyakit tersebut meningkat di akhir 1960-an.

Youyou Tu mengembangkan pengobatan Tiongkok Kuno guna obati malaria. (Foto: Newscientist)

Pada saat itulah Tu beralih menggunakan obat herbal Tiongkok Kuno untuk menjawab tantangan yang ada. Ekstrak dari tanaman Artemesia muncul sebagai kandidat menarik.

Artemesia annua telah digunakan ratusan tahun lalu untuk mengatasi demam seperti dilaporkan New York Times. Pada awal penelitian Tu, hasilnya tidak konsisten sehingga Tu kembali ke literatur Tiongokok dan menggali ide tentang komponen aktif dalam tanaman ini.

Ternyata, kompenen yang dinamakan Artemisinin terbukti sangat efektif melawan parasit malaria pada hewan dan manusia.

"Artemisinin merupakan antimalaria yang cepat membunuh parasit Malaria pada tahap awal perkembangan mereka, ini merupakan potensi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pengobatan malaria berat," kata Majelis Nobel seperti dikutip laman Time, Selasa (6/10/2015).

Kini, malaria menginfeksi 200 juta orang setiap tahun dan Artemisinin digunakan di mana-mana untuk mengatasi masalah ini. Ketika dipadukan dengan obat lain, Artemisinin dapat mengurangi angka kematian akibat malaria hingga 20 persen dan 30 persen pada anak-anak.

Di Afrika, obat ini telah menyelamatkan nyawa 100.000 orang per tahun.