Liputan6.com, Jakarta Konflik adalah salah satu bagian dari kehidupan manusia. Semenjak dahulu, manusia selalu dihadapkan pada konflik. Sebagian orang mengalami berbagai konflik kecil dalam kehidupan sehari-hari yang hanya melibatkan sedikit orang. Namun sebagian yang lain mengalami konflik besar yang melibatkan dan mempengaruhi jutaan orang, misalnya konflik yang terjadi antarnegara.
Banyak orang yang merasa ngeri melihat akibat dari konflik. Perpisahan dalam relasi, penghinaan, trauma, dan kekerasan merupakan dampak dari konflik yang membuat orang menjadi takut mengalami konflik dengan orang lain. Tambah lagi, dalam budaya kita, konflik merupakan sesuatu yang sering kali tidak boleh muncul dalam tata relasi kehidupan bermasyarakat. Konflik sering dianggap akan merusak harmoni kehidupan bermasyarakat yang seharusnya selalu dijaga.
Baca Juga
Konflik sebenarnya tidaklah selalu buruk. Jika dilihat dari asal mulanya, kita semestinya menerima konflik sebagai hal yang wajar dari perkembangan hidup manusia. Manusia lahir dan dibesarkan dari lingkungan yang berbeda-beda. Lingkungan yang berbeda itu bisa saja adalah keluarga, pendidikan, agama, masyarakat, dan sebagainya. Lingkungan-lingkungan tersebut pastilah membentuk sudut pandang yang berbeda-beda pula. Bagi sebagian orang, memperjuangkan sudut pandangnya sendiri dengan mengabaikan bahkan menyerang sudut pandang orang lain sering kali menjadi sebuah obsesi dalam hidupnya.
Advertisement
Kekayaan dan bukan ancaman
Padahal jika mau melihat lebih jauh, berbagai perbedaan sudut pandang ini merupakan kekayaan dan bukanlah ancaman. Apalagi kalau kita mau menengok ke belakang di masa lampau. Apa yang dahulu dianggap sebagai sudut pandang yang benar dan diperjuangkan mati-matian oleh sekelompok orang, ternyata saat ini diketahui merupakan hal yang keliru. Contohnya mengenai pandangan bahwa bumi adalah area yang datar. Tentu saja dibutuhkan proses yang tidak mudah untuk mampu melihat secara lebih obyektif sudut pandang pihak lain.
Menyelesaikan konflik menjadi kemampuan yang penting dalam diri individu. Kemampuan ini perlu untuk dilatih semenjak individu berusia kanak-kanak. Orang tua dapat membantu terbentuknya kemampuan menyelesaikan konflik pada anak-anak lewat beberapa usaha:
Advertisement
Mengajak anak melihat sisi positif
1. Mengajak anak melihat sisi positif dalam konflik
Ketika banyak orang hanya melihat konflik sebagai hal yang negatif, orang tua perlu mengajak anak melihat sisi positif dalam konflik. Sisi positif dapat dicari lewat berbagai diskusi yang dilakukan sesudah anak mengalami suatu konflik dengan orang lain. Orang tua dapat menunjukkan pada anak betapa konflik dapat membantu anak dalam mengelola emosi, melihat sudut pandang yang berbeda, dan memperkaya suatu relasi. Tidak mengherankan jika pengelolaan konflik yang baik dapat mendorong terbentuknya pribadi yang lebih matang serta relasi yang lebih erat.
2. Menjadi model
Orang tua perlu menunjukkan kepada anak-anaknya sosok pribadi yang mampu mengelola konflik secara positif dalam kehidupannya. Hal ini dapat ditunjukkan sendiri oleh orang tua saat mengalami konflik dengan orang lain termasuk dengan sang anak sendiri. Anak akan segera merekam dan menirukan cara-cara yang dilakukan orang tuanya dalam menangani konflik dengan orang lain.
Melatih kemampuan menghadapi konflik
3. Melatih kemampuan menghadapi konflik
Untuk dapat mengelola konflik dengan baik, seseorang perlu memiliki kemampuan-kemampuan tertentu. kemampuan tersebut antara lain adalah kemampuan berkomunikasi, menghargai dan mengintegrasikan berbagai sudut pandang yang berbeda, dan mengelola emosi. Semenjak dini, orang tua dapat mulai melatihkan kemampuan ini pada anak-anak mereka. Latihan dapat dimulai dalam relasi sehari-hari di tengah keluarga.
4. Orang tua tidak perlu langsung turun tangan
Saat anak sedang mengalami konflik, orang tua sebaiknya tidak segera turun tangan dan menyelesaikan konflik tersebut. Orang tua perlu membiarkan anak mengalami sendiri berbagai perjuangan saat mengalami suatu konflik dengan orang lain. Akan sangat baik jika kemudian, tanpa bantuan orang tua, anak pada akhirnya mampu menyelesaikan konflik-konflik yang dialaminya. Tentu saja jika konflik menjadi semakin membahayakan, misalnya mengarah pada kekerasan, orang tua perlu untuk segera menengahinya. Dalam menengahi pun, orang tua sebaiknya tidak berpihak. Orang tua cukup mengingatkan agar pihak-pihak yang berkonflik lebih menggunakan cara-cara yang konstruktif dalam menyelesaikan konflik yang dialaminya.
Y. Heri Widodo, M.Psi., Psikolog
Dosen Universitas Sanata Dharma dan pemilik Taman Penitipan Anak Kerang Mutiara Yogyakarta
Advertisement