Liputan6.com, Liberia - Uji genetik terhadap seorang wanita penderita penyakit Ebola membuktikan bahwa ia tertular penyakit Ebola pada bulan Maret lalu setelah berhubungan seks dengan penyintas penyakit tersebut.
Sebetulnya sudah diketahui bahwa Ebola dapat bertahan hidup dalam cairan semen pria selama beberapa minggu setelah gejala penyakitnya sudah lenyap dari penderita.
Baca Juga
Namun demikian, inilah pertama kalinya dipastikan bahwa penyakit itu dapat ditularkan lewat hubungan seksual, sekaligus merupakan bukti bahwa virusnya dapat bertahan dalam tubuh lebih lama daripada perkiraan sebelumnya.
Advertisement
Disebutkan dalam Sciencealert, dalam tulisan tanggal 15 Oktober 2015, pasangan yang terkena penyakit ini melakukan hubungan seksual tanpa pelindung 6 bulan setelah sang pria terinfeksi ebola dan 155 hari setelah hasil tes darah pria itu menyatakan bahwa ia terbebas dari virus.
Jeda waktu tersebut jauh lebih lama dari anggapan masa hidup selama 90 hari ketika virus itu berada di dalam cairan tubuh. Pria penyintas Ebola itu pun sekarang dilarang melakukan hubungan seksual.
Tapi tunggu dulu. Analisis yang sudah dilakukan bukan sekadar menunjukkan bahwa gen virus pada pasangan itu memang identik satu sama lain. Kejadian ini juga mengungkapkan bahwa virus dalam tubuh mereka berbeda dari seluruh virus Ebola yang dikenal di Afrika Barat.
Para peneliti menyanggah keterkaitan wanita itu dengan orang lain yang terjangkit. Bahkan wanita itu baru terjangkit setelah Liberia dinyatakan terbebas dari Ebola.
Perlu penelitian lanjutan
Temuan ini dipaparkan dalam jurnal terkemuka New England Journal of Medicine, bersama-sama dengan laporan awal yang menunjukkan bahwa bahan genetika Ebola dapat bertahan di dalam cairan air mani hingga 9 bulan setelah dimulainya infeksi.
Dari semua makalah tersebut, terbukti bahwa masih banyak yang harus dipelajari tentang bagaimana ebola menyebar dan seberapa lama waktunya untuk menyatakan seseorang bersih dari virus tersebut.
Di sisi lain, walaupun kita mengetahui bahwa hubungan seksual dapat menularkan Ebola, bukti epidemiologis hingga saat ini membuktikan bahwa kemungkinan demikian masih belum lazim. Ada lebih dari 17.000 orang yang menyintas wabah ebola di Afrika Barat, tapi hanya kurang dari 20 laporan saja yang dicurigai sebagai penularan melalui hubungan seksual.
Armand Sprecher dari badan Doctors Without Borders di Brussels, Belgia, mengatakan, “Jika penularan secara seksual dari penyintas menjadi alat penyebaran yang penting, maka sekarang kita harusnya sudah menemukan sejumlah kasus.” Dokter ini tidak terlibat dalam penelitian yang dijabarkan di sini.
Ia juga mendesak agar orang tidak menggunakan penelitian ini sebagai alasan tambahan untuk mengucilkan para penyintas virus tersebut.
“Jangan lupa mereka sudah menderita penyakit parah dan banyak penyintas yang kehilangan teman dan sanak saudara ketika ia sembuh. Jika diperlakukan secara rendah dan terancam, kita menambahkan penderitaan atas mereka. Marilah kita perlakukan dengan welas asih sebisa-bisanya.”
Apa pun pandangan yang dilontarkan, temuan ini merupakan terobosan penting bagi pengetahuan kita akan virus yang bandel dan mematikan ini. Penelitian lanjutan akan membantu para ilmuwan untuk mengembangkan amaran yang lebih aman dan perlindungan yang lebih baik dalam masyarakat yang terdampak. (Alx)*
Advertisement