Liputan6.com, New Haven - Setiap pribadi manusia memang unik. Selama ini kita sudah mengetahui bahwa keunikan itu antara lain ditandai dengan uniknya sidik jari manusia. Ternyata, ‘sidik’ otak juga sama uniknya.
Sejumlah ilmuwan syaraf mendapati bahwa mereka dapat mencirikan seseorang berdasarkan suatu ‘peta’ yang menunjukkan daerah-daerah otak yang ‘menyala’ bersamaan melalui pelarikan (scan).
Baca Juga
Peta itu cukup stabil sehingga para peneliti itu dapat membaca pola dari satu orang di antara kumpulan 126 pola. Hal ini dilakukan hanya dengan mencocokan hasil larik hari ini dengan hasil larik sehari sebelumnya!
Advertisement
Bukan hanya itu, pencirian ini bisa dilakukan bahkan ketika seseorang sedang “istirahat” selama suatu pelarikan dan sedang berkegiatan selama pelarikan berikutnya.
Lebih jauh lagi, aspek-aspek dalam peta itu dapat dipakai untuk memprediksi beberapa kemampuan kognitif tertentu.
Seperti dilansir dari BBC pada hari ini (23/10/2105), temuan ini sudah dipaparkan dalam jurnal Nature Neuroscience. Temuan ini menujukkan adanya kestabilan yang tidak disangka-sangka terkait “sidik jari fungsional” pada otak.
Emily Finn, seorang calon PhD di Yale University yang menjadi penulis bersama dengan Dr. Xilin Shen, mengatakan, "Yang menarik...kita bukan mencirikan orang dengan cara memasukkan mereka ke dalam mesin MRI, melainkan kita dapat mencirikan seseorang hanya dengan melihatnya.”
“Yang paling menarik bagi saya adalah bahwa profil ini sangat stabil dan bisa diandalkan, tak peduli waktu atau apapun kegiatan yang sedang dilakukan orang itu.”
Meramal Kecerdasan
Penting untuk dimengerti bahwa ‘sidik jari’ otak ini berdasarkan kepada kegiatan otak, bukan struktur fisiknya. Di antara sedemikian banyaknya hubungan triliunan sel-sel otak, bahkan hingga ukuran yang bisa terbaca MRI, kita semua unik secara fisik.
Namun demikian, Emily Finn dan rekan-rekannya menggambar peta otak hanya berdasarkan daerah-daerah otak tertentu pada seseorang yang cenderung untuk ‘menyala’ bersamaan. Mereka menggunakan data dari MRI fungsional (functional MRI, disingkat fMRI), yang dapat merekam naik turun kegiatan otak yang paling samar sekalipun.
Tapi, karena relative kurang teliti, fMRI tidak dipakai untuk membandingkan otak orang per orang. Para peneliti itu cenderung melakukan pencatatan dari beberapa orang dan membuat rata-rata hasilnya.
Katanya, “Kami tidak berminat menggeser analisa fMRI yang sudah ada dan tidak mencari kesamaan—bentuk otak terlihat sama, otak melakukan tugas yang sama—melainkan berminat melihat apakah otak itu tetap sama tanpa bergantung kepada apa yang sedang dilakukannya.”
Para peneliti itu mengambil data 126 orang dari Human Connectome Project, suatu kegiatan yang digagas AS untuk mengumpulkan data tentang “diagram persambungan” dalam otak manusia. Orang-orang ini sudah pernah di larik berkali-kali dalam hari yang berbeda, entah selagi istirahat ataupun ketika sedang melakukan sesuatu.
Dalam setiap larikan para peneliti melihat apa yang terjadi di 268 titik kunci pada otak dan mengamati apakah pola naik turun di satu titik mirip dengan pola naik turun di 267 titik pengamatan lainnya. Hasilnya adalah profil aliran kegiatan di masing-masing otak.
Profil itu ternyata cukup konsisten sehingga tim itu dapat menggunakannya untuk menandai satu orang yang sama—tepat hingga 90%—dengan menggunakan hasil dari kumpulan pelarikan yang berbeda, pada hari yang berbeda pula.
Mereka juga mendapati bahwa, hingga keadaan tertentu, mereka dapat menggunakan profil itu untuk memperkirakan bagaimana hasil orang tersebut ketike melakukan ujian kognitif tertentu untuk mengukur “kecerdasan cair”.
Kecerdasan yang dimaksud adalah cara pikir dadakan tanpa latihan yang diukur dalam sejumlah ujian IQ. Namun ia wanti-wanti dan mengatakan bahwa teknik ini bukan untuk menggantikan ujian IQ
Katanya, “Tidak ada yang mengusulkan pelarikan otak untuk menggantikan ujian IQ. Ini hanya sekedar pembuktian konsep bahwa profil kognitif relevan dengan perilaku kognitif yang canggih ini.”
Ia menambahkan bahwa jika peta-peta perorangan ini memiliki kaitan yang kuat dengan fenomena psikologis, hal ini bisa bermanfaat dalam klinik, “Hal ini memungkinkan untuk memprediksi hal-hal yang lebih sukar untuk dikatakan hanya dengan melihat seseorang atau memberikan ujian kepadanya, misalnya apakah orang ini memiliki risiko berbagai penyakit mental.”
Advertisement
Data Yang Bermutu
Penelitian lain dengan teknik yang sama baru-baru ini mengatakan bahwa peta otak dapat digunakan untuk memprediksi karakteristik seseorang, mulai dari sekedar perbendaharaan kosa katanya, sampai ke besar penghasilan mereka.
Salah satu penulisnya, Professor Thomas Nichols, mengatakan bahwa ia tidak kaget melihat Emily Finn dan rekan-rekan dapat mencirikan orang per orang. Ahli statistik pencitraan otak di University of Warwick itu mengatakan, “Ini semua karena tersedianya data yang secara alamiah memang sangat bermutu.”
Profesor ini mengatakan bahwa iapun menggunakan data yang berasal dari Human Connectome Project di AS, yang disebutnya “sangat maju”. Katanya, “Datanya sangat, sangat bagus dan ada begitu besarnya volume data untuk setiap subyek.”
Sementara itu, Tim Behrens, pengajar ilmu syaraf komputasional di Oxford University, mengatakan ia paling terkesan dengan konsistensi antara peta otak orang ketika sedang istirahat dan ketika sedang berkegiatan dalam penelitian tersebut.
Katanya kepada BBC, “Secara khusus, yang menarik adalah bagaimana otak sambung-menyambung…selagi istirahat, sangat mirip dengan bagaimana otak sambung-menyambung selagi melakukan sesuatu yang menarik.”
Sebagai pembanding, katanya, kita tidak bisa berharap “pola digital angka 1 dan angka 0” pada suatu komputer yang sedang sibuk akan sama dengan pola sewaktu komputer sedang tidak melakukan apa-apa.
“Hal ini mengatakan bahwa ada sesuatu dengan fungsi otak yang secara mendasar terbangun dalam pola-pola kegiatan yang hidup di dalam sana selama ini.” (Alx)