Liputan6.com, Jakarta Inilah salah satu alasan mengapa saya meninggalkan dunia farmasi. Penuh praktik culas yang mengusik hati nurani saya. Â 14 tahun lalu ada seorang pasien yang kurang mampu datang ke apotek tempat saya bekerja. Saat itu saya adalah AA alias asisten apoteker untuk membeli obat.
Ketika saya tanya siapa yang sakit, dia menjawab istrinya yang sakit. Lalu saya tanya sakit apa? Batuk dan demam sudah tiga hari, jawabnya. Ketika membaca resepnya, semua tertulis nama obat paten antibiotik, alergi dan obat batuk yang ketika saya total harganya lebih dari 400.000 rupiah.
Saya mencoba menelpon dokter untuk menyarankan agar diganti obat generik, dengan alasan pasien tidak mampu bayar. Tapi dokter di seberang telepon menjawab dengan ketus, "Tidak boleh diganti ya!". Dengan berat hati saya mendekati bapak itu dan mengatakan saya tidak bisa membantunya.
Advertisement
Lunglai, bapak itu keluar dari apotek. Dan saya melihatnya dengan hati sedih dan terpukul. Tak berapa lama, akhirnya saya kejar bapak itu, lalu saya berikan satu kantung plastik berisi obat batuk, obat flu serta vitamin. Semuanya adalah obat bebas berlogo hijau dan biru.
"Bapak resepnya tidak usah ditebus, cukup minum obat ini saja ya. Jika 3hari tidak sembuh bapak kemari saja. Nanti saya antar istri bapak ke dokter,"bapak itu mengangguk.
3 hari kemudian, seorang ibu tua datang ke apotek membeli obat gosok."Neng makasih ya obatnya, saya sudah sembuh,". Rupanya dia adalah istri bapak yang saya beri obat dan vitamin waktu itu.
Menjadi petugas kesehatan, apapun itu baik dokter, apoteker, asisten apoteker, perawat, dan lainnya mestinya melayani sesuai sumpah masing-masing. Tak semua rasa sakit itu bisa disembuhkan dengan obat, bahkan yang mahal sekalipun. Dengan layanan penuh kasih, senyum pun bisa menyembuhkan. Saya percaya masih banyak dokter yang baik.
Semoga pengalaman saya yang pasti akan banyak juga dialami para apoteker, asisten apoteker, medical representative menyadarkan kita semua, bahwa ada juga dokter yang demi kepentingan pribadi rela melacurkan profesinya. Jadi berhati-hatilah. Ada baiknya ketika menerima resep dokter tanyakan nama obat dan khasiatnya. Jika dokter tidak menjawab, tanyakan ke apoteker, jika apoteker tidak menjawab juga, laporkan saja ke dinkes atau pasang saja status di sosial media seperti facebook, supaya mendapat teguran publik. (Retno Wulandari)