Liputan6.com, Jakarta - Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan RI tahun 2013, 1-2 orang dari 1.000 warga di Indonesia mengalami gangguan kejiwaan berat.
Seperti yang diketahui, pasien dengan gangguan jiwa semisal dari kasus skizofrenia hingga kini mendapatkan fasilitas kesehatan yang baik. Contohnya peristiwa pemasungan yang terjadi di Desa Jatisaba, Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah.
Baca Juga
Keluarga Dartam, pemuda yang terpasung selama 24 tahun memutuskan mengurungnya agar tak sampai membahayakan orang sekitar. "Masyarakat di lingkungannya merasa tenang kalau pasien dengan gelaja skizofrenia lebih baik dipasung," tutur Dokter spesialis kejiwaan sekaligus presiden ASEAN Federation for Psychiatry and Mental Health (AFPMH) dr Danardi Sosrosumihardjo SpKJ (K) kepada Liputan6.com, pada Kamis (26/11/2015) lalu.
Advertisement
Dr Danardi bersama anggota Komunitas Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia linnya, baru saja menghadiri Seminar Nasional 5 Tahun Program Indonesia Bebas Pasung, yang akan berlangsung pada hari Jumat (20/11) hingga Minggu (22/11), di Hotel Savoy Homan Bandung. Pada seminar itu mereka saling bertukar pikiran bagaimana mengatasi kasus skizofrenia di daerah masing-masing.
"Saat seminar lalu, perwakilan dari Situbondo (Jawa Timur) bercerita kalau banyak puskesmas yang tidak pede atau siap menangani kasus skizofrenia. Selain itu bahasan menyangkut obat-obatan," kata dr Danardi menambahkan.
Menyangkut obat-obatan, dia menuturkan kalau penyediaan obat skizofrenia kurang mendapat perhatian dari pemerintah. "Pasien juga kurang patuh minum obat. Padahal bisa diakali dengan suntikan satu kali dalam sebulan, namanya suntikan Depo," tutur sang dokter.
"Tapi obat skizofrenia ini tidak masuk dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), sehingga penyediaannya terbatas," pungkasnya.