Liputan6.com, Jakarta Ketika 90 persen populasi dunia telah mengaksesi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), Indonesia semakin terpuruk. Bagaimana tidak, di antara negara maju dan berkembang yang telah melindungi negaranya dari rokok, Indonesia masih jauh dari bagian instrumen global ini.
National Profesional Officer for Tobacco Free Initiative, WHO Indonesia Dina Kania, MPH, menyayangkan kondisi ini, sebab tren merokok di Indonesia terus meningkat. Di sisi lain, hal ini tidak diimbangi dengan regulasi yang kuat melindungi anak atau remaja.
Baca Juga
"Sebanyak 36.1 persen populasi Indonesia (61,4 juta) saat ini mengonsumsi tembakau dalam bentuk rokok maupun tembakau. Ironisnya, konsumsi rokok usia remaja 13-15 tahun terus meningkat hingga 20,3 persen baik dalam bentuk rokok maupun tembakau tanpa asap," katanya di sela-sela acara Kaleidoskop Pengendalian Konsumsi Rokok: Quo Vadis FCTC? di Double Tree Hotel, Jakarta, Senin (21/12/2015).
Advertisement
Baca Juga
Dina mengatakan, saat ini terdapat 180 negara pihak yang telah meratifikasi FCTC, yang artinya telah mencakup 90 persen populasi dunia. Sayangnya, Indonesia termasuk dari 7 negara yang tidak turut serta.Â
"Selain Indonesia, negara lain yang belum menandatangi FCTC adalah Andorra, Eritrea, Liechtenstein, Malawi, Monaco dan Somalia," katanya.
Menurut Dina, FCTC merupakan konvensi yang paling banyak mendapat respon dalam sejarah PBB. Hal ini membuktikan, pengendalian tembakau ini begitu penting dan Hukum nasional memiliki keterbatasan sehingga tidak dapat menjangkau aspek-aspek lintas batas negara.
"Indonesia tidak memiliki perlindungan atau payung hukum yang kuat mengenai tembakau. Selalu, intervensi industri rokok lebih kuat sehingga yang menjadi korban adalah anak-anak generasi muda. Tanpa FCTC, Indonesia akan terus terisolasi dan tidak punya akses untuk melindungi warganya. Nanti, ketika seluruh dunia memiliki peraturan, Indonesia harus tunduk dan kembali yang dirugikan rakyat dan anak-anak," katanya.