Sukses

Kelahiran Prematur Tingkatkan Risiko Autisme

Perkembangan otak terbaik terjadi selagi bayi berada di dalam rahim dan kelahiran prematur dapat mengganggu penyusunan jejaring serebral.

Liputan6.com, Solna - Suatu penelitian baru-baru ini mengajukan dugaan bahwa bayi-bayi prematur yang lahir sangat dini memiliki risiko lebih tinggi mengembangkan penyakit spektrum autisme (autism spectrum disorder, ASD).

Para peneliti menemukan sejumlah perbedaan pada otak bayi-bayi yang lahir sebelum kehamilan 27 minggu dan kemudian mendapat diagnosa ASD.

Dikutip dari webMD pada Kamis (31/12/2015), autisme biasanya dikaitkan dengan faktor-faktor genetik. Namun demikian para penulis penelitian yang dimaksud menduga berat kelahiran dan komplikasi saat kelahiran dapat meningkatkan risiko anak terhadap keadaan itu.

Melalui terbitan pers Rumah Sakit Universitas Karolinska di Swedia, ahli neonatalis Ulrika Aden mengatakan, “Penelitian kami menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan dapat juga menyebabkan autisme.”

Wanita yang juga menjadi peneliti di Lembaga Karolinska ini melanjutkan, “Kami terkejut dengan begitu banyaknya—hampir 30%—dari anak yang lahir sangat dini yang kemudian menunjukkan gejala-gejala ASD. Di antara anak yang lahir setelah masa kehamilan penuh, angka itu hanya 1%.”

Aden menjelaskan bahwa perkembangan otak terbaik terjadi selagi bayi berada di dalam rahim dan kelahiran prematur dapat mengganggu penyusunan jejaring serebral.

Ia menambahkan, “Dengan cara terapi baru untuk merangsang perkembangan bayi yang demikian dan menghindari stress, kita mungkin dapat mengurangi risiko mereka mengembangkan ASD.”

Kemajuan dalam perawatan intensif neonatal telah meningkatkan angka penyintasan di antara bayi yang lahir sangat dini. Bayi yang lahir setidaknya 13 minggu terlalu dini memiliki risiko lebih tinggi terkait kerusakan otak, autisme, attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), maupun masalah dalam belajar.

Otak dihadapkan kepada begitu banyak pemberi stress pada masa genting perkembangannya, sehingga dapat memainkan peran dalam memicu autisme, demikian diungkapkan para peneliti tersebut.

Untuk menyidik masalah itu, para peneliti menggunakan pemindaian MRI untuk menganalisa perkembangan otak pada lebih dari 100 bayi yang lahir sebelum mulainya trimester ke 3 masa kehamilannya. Setelah mereka memasuki usia 6 tahun, anak-anak itu diteliti untuk melihat keberadaan gejala-gejala autisme.

Temuan yang dilaporkan dalam jurnal Cerebral Cortex terbitan 21 Desember 2015 itu mengungkapkan bahwa anak-anak yang kemudian mengembangkan autisme adalah mereka yang sangat mungkin telah mengalami komplikasi ataupun pembedahan segera sesudah kelahiran.

Jauh sebelum anak-anak itu mendapatkan diagnosa, para peneliti telah mengamati terhambatnya perkembangan bagian-bagian otak yang terlibat dalam kontak sosial, empati, dan kemampuan bahasa. Mereka melihat bahwa fungsi-fungsi tersebut kerap mengalami gangguan pada anak-anak dengan autisme.