Liputan6.com, New York - Sejumlah bom di meledak di kawasan Sarinah di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat. Mengapa ada orang—yang terlihat masih muda—bisa dengan demikian naifnya melakukan penghabisan nyawa orang lain? Ada mindsetnya?
Dikutip dari Vocativ pada Senin (18/01/2016), ada upaya untuk melakukan telaah psikologis mengenai mereka yang direkrut oleh ISIS. Dengan berlatar belakang ledakan bom Paris, disebutkan ada dua jenis kelompok orang yang tertarik bergabung dengan ISIS.
Kelompok pertama adalah mereka yang lahir di wilayah-wilayah konflik seperti Irak dan Suriah, yang bertempur karena alasan lokal. Menurut Scott Atran, ahli antropologi yang meneliti latar belakang psikologis terorisme menyebutkan mata rantai kekerasan yang tiada akhir melanda kawasan tersebut.
Advertisement
Baca Juga
Ia mewawancarai sejumlah teroris mulai dari mereka yang sedang memulai, masih giat melakukan serangan, hingga setelah tuntas melakukan serangan.
Begini temuannya, “Dari semua petarung ISIS yang kami wawancarai di Irak, banyak yang tidak lulus SD. Ketika ditanya ‘apakah Islam itu’, mereka menjawab ‘hidup saya’. Mereka tidak tahu apa-apa tentang Quran maupun hadits.”
Sementara itu, di Eropa, rata-rata teroris adalah jenis yang berbeda. Orang asing bergabung dengan ISIS karena rasa setia kawan, tapi mereka adalah orang yang terdidik, stabil emosinya, dan bahkan terhitung sebagai bagian dari orang kebanyakan dalam hal atribut psikologis seperti empati, welas asih, idelisme, dan keinginan menolong daripada menyakiti.
Tapi, beda dengan AS, imigran di Eropa baru mencapai kemapanan status sosial ekonomi setelah kira-kira 3 generasi. Di AS, kesempatan untuk pencapaian itu hanya perlu 1 generasi. Kebanyakan imigran di Eropa 5 hingga 19 kali berkemungkinan menjadi miskin ataupun kurang terdidik.”
Karena kekurangan kesempatan di Eropa, kaum muda mudah diradikalisasi. “Bukan semata karena Quran, tapi karena sebab lain yang menjanjikan kemuliaan dan harga diri. Jihad bersifat egaliter, ada rasa persaudaraan, kemuliaan, hebat, dan menarik.”
Atran kerap mengutip George Orwell yang menelaah buku Mein Kampf tulisan Adolf Hitler, ujarnya, “Hitler mendapati bahwa manusia tidak melulu menginginkan perdamaian dan keamanan dan kenyamanan dan tidak mau ini dan itu. Mereka menginginkan petualangan, kemuliaan, dan pengorbanan diri.”
Atran menulis bahwa ISIS memiliki daya tarik yang serupa dengan sentimen yang melekat di benak jutaan warga Jerman dalam Perang Dunia II. Khususnya bagi kaum muda, terorisme memberikan petualangan yang tidak bisa terobati oleh pasifisme.
Mungkin ini sebabnya upaya-upaya biasa untuk meredam radikalisasi remaja berisiko sering gagal.
Tentang tanggapan dunia Barat, Atran mengatakan kita sudah tahu bahwasannya semena-mena memenggal kepala orang adalah hal yang buruk, tapi ISIS menawarkan kaum muda gundah gulana itu sejumlah otonomi dan sesuatu yang seru. "Kebanyakan negara di dunia, termasuk kalangan Muslim, menyerukan ‘wasatiyyah’ atau moderasi. Nah, semua orang yang memiliki anak remaja paham betapa sia-sianya seruan seperti itu.”
Dalam pidatonya di PBB, Atran mengusulkan bahwa satu-satunya cara untuk melawan radikalisasi adalah dengan meminjam strategi psikologis ISIS itu sendiri. Rencana yang berhasil adalah yang “menawarkan kaum muda (sesuatu) yang membuat mereka berani bermimpi tentang hidup, yang berarti melalui perjuangan dan pengorbanan diri diliputi rasa setia kawan.”
Menurut Atran, hal-hal kunci untuk itu antara lain menawarkan kaum muda gundah gulana itu sesuatu yang sama menariknya (tapi jelas-jelas tidak merusak dan mengerikan) daripada sekedar menjadi teroris.
Ilmu sosial dapat membantu. Dengan semakin banyaknya ahli antropoligi dan psikologi yang mulai mengupas apa yang mendorong seseorang menjadi teroris, seyogyanya suatu pengertian tentang apa yang mendorong teror akan membantu kita memeranginya di masa depan dan mencegah tragedi-tragedi tak terkatakan ini.”
Pungkasnya, “Langkah pertama untuk memerangi ISIS adalah dengan mengertinya. Kita masih harus melakukan itu.”