Sukses

Hormon, Faktor yang Membedakan Tingkat Stres Pria dan Wanita

Kondisi stres yang dialami setiap manusia ternyata memiliki perbedaan yang berasal dari faktor gender dan hormon.

Liputan6.com, Jakarta Sebuah penelitian terbaru menemukan hal yang menyebabkan perbedaan pria dan wanita dalam menangani kondisi stres yang mereka alami.

Society for Neuroscience's mengadakan pertemuan bersama para ahli saraf untuk membahas penelitian perihal tingkat stres pria dan wanita. Mereka mekakukan percobaan menggunakan tikus betina dan jantan. Melalui penelitian tersebut para ilmuwan menemukan, tikus betina kurang mampu beradaptasi dengan kondisi stres kronis dibandingkan tikus jantan.

Penemuan ini memiliki keterkaitan antara perbedaan gender, hormon stres yang diproduksi oleh tubuh diproses terlebih dahulu melalui otak mereka. Begitu pun pada manusia, wanita berkemungkinan lebih rentan terhadap kondisi stres. Kondisi ini dikendalikan oleh hormon oksitosin, esterogen, serta hormon seks sebagai faktor pendukung yang jelas berbeda tingkatannya pada diri pria, dilansir dari Bustle, Senin (18/01/2016).

Penelitian ini memang tidak menunjukkan penjelasan psikologis evolusioner - di mana potensi peran dari faktor genetis akan beragam aspek dari perilaku manusia yang tidak dijabarkan, untuk mengetahui secara persis mengapa wanita merasakan stres yang lebih buruk daripada pria. Juga tak menunjukkan respons secara sosial dan reproduktif dari pria dan wanita, sebagai pendukung penelitian.

Secara stereotip wanita lebih berperan dalam menangani atau menanggapi keadaan sosial, serta lebih berperan dalam menjaga suatu hubungan dibandingkan para pria. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya kondisi stres yang lebih tinggi daripada pria.

Usaha untuk mengurangi dan juga menanggulangi rasa stres menjadi suatu hal yang sulit wanita. Stres cenderung meningkat ketika ada semakin banyak saran yang masuk dalam pikiran wanita. 

Penelitian selanjutnya akan dilakukan untuk menemukan mekanisme respons manusia terhadap stres secara spesifik melalui gender. Hal ini pun akan membantu para ilmuwan dan para profesional kesehatan mental untuk mendapatkan metode baru dalam menangani bencana emosional dalam diri manusia.