Liputan6.com, Jakarta Polisi menetapkan Jessica Kumala Wongso sebagai tersangka atas kasus kematian Mirna Salihin, temannya sendiri. Dalam beberapa wawancara dengan wartawan, perempuan berambut sebahu itu mengelak dan mengaku tertekan atas kematian Mirna.
Baca Juga
Pakar human lie detector, Handoko Gani, MBA, BAII, ketika dihubungi liputan6.com, Sabtu (30/1/2016) mengatakan, kasus Mirna ini cukup menarik perhatiannya. Menurut analisisnya, ada beberapa hipotesis awal atas kasus ini, seperti:
1. Apakah Jessica tidak tahu, minuman Mirna 'bukan kopi'?
Advertisement
Hipotesis yang ditemukan:
- Jessica betul tidak tahu (saat kejadian)
- Dia tahu (karena dia yang meracuni)
- Dia sekarang tahu (dan takut juga kalau sampai meminumnya)
Menurut Handoko, hipotesis ini didapat dari percakapan dengan server saat menuang kopi. Dia mengatakan, "Saya lihat kopinya itu, ya saya assume kopilah ya, itu kan hitam warnanya.
Dalam hal ini, ada beberapa hipotesis di antaranya, dia salah kata, tidak tahu itu 'kopi' atau dia curiga itu 'bukan kopi', yang artinya Jessica tahu kopi ada racun.
2. Perubahan wajah yang drastis
Ada perubahan ekspresi wajah dan RSVP (Rhtyme, Speed, Volume dan Pitch) ketika mengucapkan kata: "Yaah, nggak tahu kenapa kalau saya minum kopi itu". Ditambah lagi dengan spontan dia mengucapkan, "Tapiii, bukan gara-gara, gara-gara apa, gara-gara lambung saya ini.
3. Muncul senyum puas
Dalam interview sebelumnya, Jessica sempat ditanya wartawan dengan pertanyaan, "Jessica, bisa dijelaskan kalau ada tuduhan bahwa kamu memberikan sianida ke dalam minuman mirna, apakah itu benar?"
Jawaban Jessica, "Tidak benar. Saya tidak menaruh apa-apa di kopinya Mirna. Saya (geleng-geleng kepala) benar-benar nggak naruh apa-apa ya."
Handoko menilai, di antara kata 'saya' ada jeda, dia menemukan ekspresi senyum puas (duping delight) sambil proses kognitif berpikir, bukan emosi sedih.
4. Jessica tenang atau tidak takut?
Ada beberapa hipotesis, dia tenang atau tidak takut karena memang tidak bersalah, takut bicara di kamera, takut tapi memang tidak bersalah, atau hanya takut diperiksa polisi, takut persepsi orang, takut polisi salah tangkap atau takut ketahuan karena ia bersalah.
5. Perubahan emosi
Di antara 12 kriteria teknik analisis verbal, Scientific Content Analysis (SCAN), ada 11 kriteria kebohongan. Handoko menuturkan ada teknik yang bisa dilakukan untuk melihat ekspresi wajah dan perubahan emosi melalui Facial Microexpression. Teknik ini memerlukan sistem coding wajah, bukan sekadar dijelaskan, misalnya alis mata turun, mata membelak kaget, bibir turun, pipi terangkat, dan sebagainya.
"Ini penting sekali karena emosi seseorang dalam setiap kalimat penjelasan bisa berbeda. Tidak mungkin sebuah analisis ekspresi 'berdiri sendiri' tanpa adanya analisis suara, kata-kata dan gaya bicara. Atau dengan kata lain, tidak mungkin menganalisis non-verbal tanpa tahu apa isi kata-kata, suara dan gaya bicara saat itu," katanya.
Kendati demikian, Handoko menegaskan, hasil analisisnya ini bukan merupakan hipotesis final dan tidak dapat dijadikan kesimpulan karena keterbatasan info, data dan fakta. Belum lagi, dia hanya menganalisisnya dari beberapa wawancara Jessica dengan media sementara untuk menentukan pelaku harus ada bukti pendukung lain seperti CCTV atau keterangan pelayan kafe yang ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP).