Liputan6.com, Jakarta Pada era awal tahun 80-an, televisi telah menjadi media yang masuk ke rumah-rumah. Belum masuknya listrik di beberapa tempat tidak meniadakan kiprah televisi. Dengan aki basah yang dalam jangka waktu tertentu harus kembali di cas, banyak masyarakat di era tersebut yang bisa menonton televisi di rumahnya sendiri atau pun menumpang menonton di rumah tetangga dekatnya.
Pada awal tahun 80-an ini, hanya ada satu stasiun televisi yaitu TVRI. Jam siarannya pun pada waktu itu tidak begitu panjang yakni mulai sore menjelang malam hingga sekitar tengah malam. Saingan televisi pada waktu itu tidaklah banyak. Yang paling sering menjadi saingan berat hanyalah siaran radio.
Baca Juga
Zaman berubah dengan cepat. Pada akhir tahun 80-an, muncul berbagai stasiun televisi. Jam siaran pun bertambah panjang. Saat ini, salah satu aktivitas yang dilakukan oleh banyak orang hampir tiap hari dengan durasi yang cukup lama adalah menonton televisi. Saat menonton televisi, acara yang cukup populer menjadi konsumsi sehari-hari untuk banyak orang adalah sinetron.
Advertisement
Baca Juga
Bagi banyak orang, sinetron adalah sebuah hiburan murah yang bisa diperoleh setiap hari. Pilihannya pun cukup banyak karena hampir setiap stasiun televisi menayangkannya. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika setiap hari banyak keluarga, dari anak-anak hingga orang tua, menghabiskan waktunya di depan kotak ajaib bernama televisi untuk menonton sinetron.
Jika kita melihat kualitas sinetron di stasiun-stasiun televisi kita saat ini, sebenarnya kita perlu merasa prihatin. Komisi Penyiaran Indonesia berulang kali juga melayangkan teguran pada berbagai sinetron yang dianggap tidak layak tonton (“Sepuluh Sinetron Ditegur KPI,” n.d.). Akan tetapi, agaknya teguran-teguran tersebut kurang dapat memberikan dampak yang signifikan. Dengan alasan rating, masyarakat terus dibanjiri tayangan sinetron yang kualitasnya masih belum layak.
Sebenarnya adakah dampak buruk menonton sinetron-sinetron di televisi kita saat ini? Dengan kualitas yang kurang memadai tersebut, menonton sinetron apalagi dalam frekuensi yang tinggi dan durasi yang panjang akan memberikan pengaruh yang kurang positif. Pengaruhnya bisa muncul pada banyak orang. Anak-anak menjadi kelompok usia yang lebih mudah dipengaruhi. Ini karena tanpa pendampingan orangtuanya, anak-anak belum memiliki filter yang kuat untuk menyeleksi berbagai hal yang diserapnya.
Pelajaran buruk
Beberapa pelajaran buruk dari tayangan sinetron di televisi-televisi kita saat ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Kehidupan yang tidak realistis
Sinetron-sinetron yang saat ini ditayangkan banyak yang menggambarkan kehidupan yang jauh dari realita sebagian besar masyarakat kita. Kehidupan yang mewah bergelimang harta dan terjalinnya relasi-relasi yang sangat indah dengan sosok-sosok yang sangat ideal seperti yang dialami oleh banyak tokoh sinetron tampak seperti dunia mimpi bagi banyak penontonnya. Ketika mengikuti jalan cerita di berbagai sinetron, mereka seperti tersihir dalam dunia mimpi yang sangat indah.
Saat menonton sinetron, para penikmat sinetron seringkali akan membayangkan atau setidaknya akan menginginkan bahwa mereka hidup seperti tokoh-tokoh yang ada dalam sinetron. Dampak buruknya adalah ketika kemudian mereka kembali dunia nyata. Mereka menemukan kenyataan pahit bahwa dunia tidak seindah dalam sinetron. Akibatnya yang mungkin terjadi adalah kekecewaan terhadap dunia nyata sehari-hari tersebut sehingga banyak yang kemudian memilih untuk “lari” dan tidak mau menghadapinya. Hal ini lebih jauh merupakan indikasi suatu masalah psikologis.
2. Plagiasi
Beberapa sinetron di televisi kita diduga melakukan plagiasi dari sinetron-sinetron di negara lain. Plagiasi merupakan pengambilan karya orang lain tanpa izin. Selain berpotensi menayangkan kehidupan yang tidak sesuai dengan konteks budaya masyarakat Indonesia sendiri, plagiasi dalam sinetron mengajarkan sebuah kecurangan. Kecurangan yang dilakukan selain merupakan indikasi rendahnya moral juga menunjukkan adanya ketidakpercayaan diri, kemalasan berkarya, dan rendahnya kreativitas.
3. Dikotomi benar dan salah
Yang cukup sering terlihat dalam alur cerita berbagai sinetron di Indonesia adalah dikotomi benar dan salah. Dunia digambarkan dalam bentuk kotak yang hanya terdiri dari hitam dan putih yang seringkali menjadi simbol keburukan dan kebaikan. Padahal dalam kenyataannya, dunia sehari-hari seringkali tidak seperti itu. Ada unsur abu-abu yang merupakan realita yang tidak dapat diabaikan. Di dalam kumpulan hitam akan dapat ditemukan unsur-unsur putih; sebaliknya dalam kumpulan putih dapat juga ditemukan unsur-unsur hitam. Terpengaruh oleh alur cerita sinetron lewat mengkotakkan dunia menjadi hitam putih saja akan menyebabkan seseorang menjadi mudah merasa benar sendiri dan cepat menghakimi orang lain. Hal ini tentu saja akan menyulitkan orang tersebut dalam kehidupan bersama sehari-harinya dengan orang lain.
4. Kekerasan
Beberapa waktu yang lalu, sekelompok anak melakukan kekerasan pada temannya hingga tewas karena terpengaruh oleh adegan yang dilihatnya dalam sinetron (“Pak Aku Ingin Dekat Adek. Permintaan Korban Sinetron Tujuh Manusia Harimau,” n.d.). Anak merupakan peniru yang ulung. Sayangnya, karena keterbatasan pemahaman, banyak hal ditiru tanpa pengetahuan yang mendalam. Dengan banyaknya tayangan kekerasan dalam sinetron kita, sangat mudah bagi anak untuk kemudian menirunya tanpa menyadari akibatnya lebih lanjut.
Dengan banyaknya pelajaran buruk dari sinetron kita, orangtua merupakan benteng pertama untuk melakukan seleksi terhadap apa yang dilihat anak. Orangtua dengan pertimbangan demi kepentingan anak berhak melarang dan memilihkan tayangan-tayangan yang sesuai untuk anak-anaknya. Tentu saja hal ini dapat dilakukan sejauh orangtuanya sendiri tidak menjadi konsumen setia dan pecandu sinetron.
Y. Heri Widodo, M.Psi., Psikolog
Dosen Universitas Sanata Dharma dan Pemilik Taman Penitipan Anak Kerang Mutiara
Advertisement