Liputan6.com, Jakarta Pikir seribu kali sebelum berobat ke alternatif ketika divonis mengidap tumor. Tumor yang seharusnya bisa sembuh bila ditangani ahli berpengalaman, justru dapat menjadi kanker yang tak jarang tergolong ganas bila salah diiobati.Â
Baca Juga
"Ada yang namanya alternatif dan ada yang namanya komplementer. Dari sisi kedokteran kita belum menganut yang alternatif. Tapi alternatif itu pilihan," kata Bedah Onkologi, Sonar Soni Panigoro Sp.Bonk, Msc dalam diskusi 'Cara Cerdas Memilih Pengobatan Kanker yang Tepat' bersama para ahli di Handayani Prima Restoran, Jalan Matraman Raya nomor 48, Jakarta Timur, ditulis Kamis (25/2/2016).
Namun untuk komplementer, terkadang dokter akan mempertimbangkan untuk digunakan. Di Amerika sendiri, jelas Sonar, 74 persen menggunakan komplementer bukan alternatif.
Advertisement
"Apa yang dimaksud komplementer? Macam-macam. Ada yang cuma vitamin ada juga berdoa sudah dianggap komplementer. Tidak sakit saja kita harus banyak berdoa, apalagi ketika sakit," ujar dia.
Bukannya anti pengobatan alternatif, tapi dunia kedokteran dari belahan dunia mana pun butuh waktu lama untuk membuat obat yang memang benar-benar cocok untuk manusia. Bisa selama 15 sampai 20 tahun. Jangan heran bila obat-obat sekarang mahal, karena prosesnya tidak mudah.
"Begitu ada ide, dicoba ke sel yang ada di laboratorium, binatang, orang sehat, dan orang sakit," kata dia menambahkan.
Dalam kesempatan itu Sonar bercerita, pada akhir 1950 muncul obat dengan nama Thalidomide. Kerap dipakai untuk menenangkan, terlebih ibu-ibu hamil yang susah tidur. Pemasaran yang dilakukan gencarnya bukan main. Sampai pada akhirnya obat itu diterima oleh semua orang.
"Tapi setelah sekian lama obat itu beredar dan sudah banyak yang menggunakan, 10 ribu bayi lahir cacat tanpa tangan dan tanpa kaki. Setelah dicek, ada hubungannya dengan penggunaan Thalidomide ini. Maka pada 1960, 10 tahun setelah obat itu beredar, peredaran pun dihentikan," kata Sonar.
Rupanya, uji coba obat ini dilakukan hanya sampai manusia yang tidak dalam kondisi hamil. Pada ibu hamil belum diuji coba dan belum diketahui apa efeknya.
"Amat disayangkan, lolos di fase ini. Sudah dijual bebas, baru ketahuan ternyata efeknya sangat mengerikan," kata Sonar.
Bercermin dari kasus itu, para dokter kini tak mau ada yang kecolongan lagi. Takut bila obat yang digunakan memiliki efek samping mengerikan.