Sukses

Apakah Melewatkan Sarapan Juga Bisa Bermanfaat?

Biasanya, sarapan dipandang memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Tapi terkadang luput sarapan malah lebih baik. Mengapa begitu?

Liputan6.com, London - Selama ini kita diajarkan bahwa sarapan adalah asupan makanan terpenting bagi kita, bahkan sarapan yang tepat ditengarai menjadi cara melawan obesitas. Namun, dalam beberapa kasus, luput sarapan malah bisa baik buat seseorang.

Dikutip dari New Zealand Herald pada Selasa (1/3/2016), salah satu hal yang juga kerap diajarkan adalah untuk makan beberapa kali dalam jumlah kecil untuk menghindari lonjakan kadar gula darah yang langsung diikuti dengan anjloknya kadar gula tersebut.

Tapi ada pandangan lain, yaitu bahwa meluputkan sarapan sebetulnya baik-baik saja.

Bagi banyak orang, berkegiatan tanpa makan berjam-jam lamanya terdengar ganjil. Tapi sebetulnya kita dapat berpuasa panjang secara rutin, bahkan selama 10 hingga 12 jam semalaman tanpa masalah. Ingat, bahkan puasa menjadi bagian dari sejumlah ibadah agama.

Kebanyakan di antara kita merasa tidak akan pernah bisa tanpa sarapan, apalagi tidak makan selama lebih dari 4 jam dalam sehari. Kemudian mengeluhkan pusing.

Di banyak negara Eropa bagian selatan, yang lebih sering meluputkan sarapan, yang namanya ‘sarapan’ bisa jadi hanya sekedar minuman espresso di warung sebelum naik bus.

Walaupun dengan “perilaku berisiko” seperti ini, mereka secara umum lebih sehat, tidak sempoyongan, atau melahap secara rakus sebelum makan siang. Keperluan sarapan kemudian ditengarai sebagai akal-akalan perusahaan sereal ditambah dengan penelitian yang kurang bermutu.

Penelitian-penelitian yang sering dikutip media menyebutkan bahwa mereka yang meluputkan sarapan secara rutin, secara rata-rata akan lebih mungkin mengalami obesitas, memiliki kadar gula darah yang lebih tinggi, dan lebih mungkin makan cemilan belakangan.

Masalahnya, penelitian-penelitian itu tidak menunjukkan bagaimana meluputkan sarapan diduga menyebabkan obesitas.

Bukan hanya itu, penelitian-penelitian yang menunjukkan kaitan antara obesitas dan meluputkan makan dipengaruhi oleh kebiasaan buruk orang-orang yang meluputkan sarapan itu, yaitu orang-orang yang lebih cenderung berpendidikan rendah dan mengabaikan amaran kesehatan, makan lebih sedikit serat, merokok, dan menghindari olahraga. Semua hal itu membawa kepada obesitas dan buruknya kesehatan, tanpa terkait dengan urusan sarapan.

2 dari 2 halaman

Sejumlah Penelitian Terkini

Bukti yang paling meyakinkan tentang dampak-dampak meluputkan sarapan diberikan oleh percobaan klinis yang sudah seharusnya dilakukan dari dulu.

Ada 6 penelitian secara acak dan 5 di antaranya baru dalam 2 tahun terakhir. Hasilnya, tidak ada bukti kenaikan berat badan atau persoalan metabolisme seperti diabetes tipe 2.

Bahkan, seperti terungkap dalam 4 di antara 6 penelitian itu, orang yang meluputkan sarapan secara umum memang makan lebih sedikit dan malah mengurangi berat badan—berlawanan dengan apa yang diduga selama ini.

Tentu saja, seperti halnya penelitian yang lain, hasil ini adalah hasil rata-rata. Ada saja orang yang merasa memerlukan sarapan dan ada lagi yang merasa tidak perlu. Dalam beberapa hal, alasannya berkaitan budaya atau mungkin genetik.

Penelitian yang dilakukan di King’s College London pada orang-orang kembar membeberkan secara jelas pengaruh gen pada ‘orang pagi’ atau ‘orang malam’ dan irama jam tubuh tentu saja berdampak kepada waktunya kita ingin makan.

Jadi, mungkin ada baiknya kita membiarkan tubuh kita membimbing pilihan untuk sarapan dan bukan bersandar kepada ajaran ataupun penelitian sembarangan. Kebiasaan untuk makan 3 kali sehari adalah temuan masa kini, baru pada masa Viktoria.

Ilustrasi makan besar malam hari di masa Victoria. (Sumber The Express)

Kita tidak mengetahui secara pasti, namun leluhur kita diduga hanya makan satu kali dalam sehari, karena membuka bekal di siang hari—saat sedang berburu—tentu tidak mudah.

Bangsa-bangsa Yunani, Persia, Romawi, dan Yahudi kuno semuanya hanya makan besar sekali dalam sehari—biasanya pada malam hari untuk merayakan usainya kerja seharian. Di Inggris, makan 2 kali sehari baru diperkenalkan pada abad 16.

Sebuah pepatah pada masa itu dipandang sebagai resep berumur panjang, “Bangun jam 6, makan jam 10, makan ringan jam 6, dan tidur jam 10 memberi umur 10 kali 10.”

Kebiasaan makan 2 kali sehari masih berlanjut hingga abad 19, itupun hanya di kalangan ningrat, dan berubah baru belakangan ini.

Penambahan lamanya puasa dengan mengurangi makan mungkin dapat bermanfaat bagi kita, bahkan jika kita hanya memasok jumlah kalori yang sama setiap hari.

Penelitian pemerintah AS pada 2007 membahas hal ini. Ada 21 sukarelawan yang diberikan isi makanan dan jumlah kalori yang sama selama 8 minggu dalam pilihan 1 kali makan besar atau dipecah jadi 3 kali makan kecil. Setelah masa jeda, penugasan para sukarelawan saling dipertukarkan.

Selama masa 6 bulan, berat setiap sukarelawan hanya naik atau turun 2 kg dari berat awal masing-masing. Tidak ada perbedaan mencolok dalam denyut jantung, suhu tubuh, ataupun sejumlah besar tes darah.

Seperti diharapkan, sajian 1 makan besar memang memberikan rasa lapar lebih, tapi juga pengurangan lemak tubuh dan kortisol—hormon stres. Jadi, tidak ada bukti bahwa meluputkan 2 kali makan mengganggu seseorang dan bahkan memberi sejumlah manfaat.

Bahkan kudapan gaya Mediterania yang hanya 2 kali makan, tanpa memandang jumlah kalorinya, terlihat sehat.

Bisa jadi, manfaat puasa berkaitan dengan dampak yang diberikan oleh miliaran mikroba sehat dalam pencernaan kita.

Penelitian terkini menunjukkan bahwa bakteri pencernaan kita mengalami perubahan-perubahan besar ketika berpuasa. Ada lonjakan singkat spesies bakteri yang membantu proses pembersihan dalam selaput pencernaan kita sehingga meningkatkan pertahanan kekebalan dan mengurangi risiko obesitas dan diabetes.

Hal ini dapat menjadi kunci keberhasilan puasa putus-sambung semisal 5:2, yang dalam percobaan terbukti mengurangi berat dan memperbaiki profil darah (gula darah dan kolesterol).

Video Terkini