Sukses

Racun Tarantula Ini Menjadi Obat Penekan Rasa Sakit

Keindahan sistem ini adalah bahwa kita bisa juga memilah racun hasil rekayasa yang tidak ada di alam.

Liputan6.com, New Haven - Setelah memilah lebih dari 100 jenis racun laba-laba, para peneliti di Yale University berhasil mencirikan sebuah protein dari racun tarantula beludru hijau Peru yang dapat menekan kegiatan neuron pengirim rasa sakit.

Dikutip dari laman berita Yale University pada Selasa (1/3/2016), temuan ini sudah dilaporkan dalam jurnal Current Biology untuk terbitan 3 Maret 2016. Dalam laporan dijelaskan tentang cara pemilahan yang digunakan oleh para peneliti.

Cara itu memiliki potensi untuk mencari lagi jutaan racun dari berbagai laba-laba guna menciptakan obat pembunuh rasa sakit dan juga untuk perawatan.

Para peneliti menyebutkan bahwa mereka telah mengujicobakan racun laba-laba ini pada salah satu dari 12 saluran perasa sakit manusia.

Kata Michael Nitabach, wakil profesor fisiologi seluler dan molekuler dan penulis senior dalam penelitian mengatakan, “Kemungkinan, di antara begitu banyaknya racun laba-laba, kita akan menemukan yang aktif di saluran-saluran yang penting untuk rasa sakit.”

Para peneliti memilah racun-racun itu dari beberapa spesies tarantula untuk mendapatkan satu yang menghalangi TRPA1—suatu saluran ion pada permukaan neuron perasa sakit yang terlibat dalam peradangan dan sakit neuropatik.

Dalam proses yang dijuluki toxineering ini, tim tersebut menciptakan kumpulan kecil versi mutasi racun tarantula untuk menemukan satu racun yang menghambat TRPA1, tapi tidak berdampak kepada kegiatan di saluran-saluran lain di permukaan neuron.

“Keindahan sistem ini adalah bahwa kita bisa juga memilah racun hasil rekayasa yang tidak ada di alam, dan mencirikan kekuatan yang lebih serta varian molekuler yang lebih spesifik yang kurang dampak racunnya pada fungsi-fungsi syaraf yang hakiki.”

Laboratorium tersebut juga menggiatkan upaya untuk menguji puluhan ribu racun baru yang memiliki kegiatan biologis serupa dalam melawan neuron perasa sakit.

Dalam penelitian yang didanai oleh National Institute of Health, Michael Nitabach yang sekaligus seorang ahli genetik itu bekerja bersama dengan Junhong Gui dan Boyi Liu, keduanya dari Yale University.