Sukses

Mengapa Anak Jadi Penakut?

Memiliki anak penakut akan menambah rasa cemas dan menghabiskan energi orangtua.

Liputan6.com, Jakarta Memiliki anak pemberani tentunya menjadi harapan semua orangtua yang memiliki anak. Apalagi banyak orangtua melihat bahwa ancaman dari lingkungan luar di zaman sekarang ini bukannya makin berkurang namun makin bertambah. Jika anaknya adalah anak pemberani, orangtua dapat sedikit bernapas lega karena anak setidaknya memiliki kemampuan, meskipun dalam taraf awal, untuk berhadapan dengan ancaman-ancaman terebut.

Sebaliknya, memiliki anak penakut akan menambah rasa cemas dan menghabiskan energi orangtua. Hal ini karena berarti anak harus dilindungi secara terus menerus bahkan juga harus diberi keyakinan akan kemampuannya menghadapi ancaman di sekitarnya.

 

Yang seringkali tidak disadari adalah bahwa terbentuknya sifat penakut pada anak sebenarnya disumbang secara cukup besar oleh pembelajaran dalam kehidupan anak. Jika berbicara mengenai pembelajaran pada anak, jelaslah bahwa salah satu porsi terbesar adalah lewat pengasuhan di keluarganya khususnya dari kedua orangtuanya.

Sebagaimana anak-anak pemberani belajar dari orang-orang penting dalam kehidupannya khususnya kedua orangtuanya, anak-anak penakut juga memperoleh sifat penakut dengan cara yang sama. Bagaimana terjadinya pembelajaran dalam pengasuhan tersebut?

1. Orangtua berusaha mengendalikan perilaku anak dengan menakut-nakutinya
Secara sadar atau tidak, orangtua seringkali menggunakan cara-cara yang kurang sehat dalam mengendalikan perilaku anak. Ada yang menghadirkan sosok seram dalam imaginasi anak misalnya hantu atau orang gila yang akan menculiknya supaya anak mau tidur. Ada yang mengancam akan memberitahukan perilaku anak yang tidak mau menghabiskan makanan pada figur-figur yang tampaknya ditakuti anak misalnya guru, polisi, dan semacamnya.

Pendek kata, orangtua berusaha membangkitkan rasa takut anak terhadap sosok-sosok tertentu baik sosok imaginatif maupun nyata sebagai ancaman untuk dapat mengendalikan perilaku anak sehingga anak berperilaku sesuai dengan keinginan orangtua.

Pada kasus lain, rasa takut untuk mengendalikan perilaku anak juga dibangkitkan lewat situasi yang menakutkan misalnya ancaman bencana alam, kehilangan orang yang disayangi anak dan sebagainya. Jika dilihat secara lebih jauh, upaya mengendalikan perilaku anak merupakan hal yang wajar yang harus dilakukan semua orangtua.

Akan tetapi, dengan menakut-nakuti anak, meskipun kemudian perilaku anak akan dapat dikendalikan sesuai dengan keinginan orangtua, ada dampak buruk yang mengikutinya di masa yang akan datang ketika anak tumbuh menjadi dewasa. Dengan menakut-nakuti anak dengan figur atau situasi yang mengancam, anak akan melihat dunia secara umum menjadi tempat yang menakutkan. Akibatnya anak akan menjadi pribadi yang cenderung penakut.

2. Orangtua sendiri memiliki sifat penakut yang kemudian ditiru oleh anak
Rasa takut pada anak juga bisa dibentuk lewat mengamati reaksi orang-orang penting dalam hidupnya, khususnya kedua orangtuanya, ketika menghadapi sesuatu. Saat orang-orang penting dalam kehidupan anak menunjukkan reaksi takut pada sesuatu, maka anak belajar bahwa sesuatu yang sedang dihadapi orang-orang tersebut adalah sesuatu yang mengancam sehingga perlu dijauhi.

Jika orangtua sendiri memiliki kecenderungan sebagai pribadi yang penakut, maka akan ada banyak hal yang ditakutinya sehingga akan sering timbul reaksi-reaksi yang menunjukkan ketakutan terhadap sesuatu. Jika hal ini sering dilihat anak, maka anak akan mempelajari dan meniru reaksi-reaksi tersebut baik dalam bentuk, frekuensi, maupun intensitasnya. Contohnya, jika ada orangtua takut ketinggian, sehingga ketika berada di tempat yang tinggi menunjukkan reaksi takut, anak akan melihat bahwa tempat yang tinggi adalah sesuatu yang mengancam sehingga harus dihindari.


Y. Heri Widodo
Dosen Universitas Sanata Dharma dan Pemilik Taman Penitipan Anak Kerang Mutiara, Yogyakarta