Liputan6.com, Chicago - Memelihara kucing memang bisa membawa rasa tenang kepada pemiliknya. Tapi, selain rasa tenang, kucing pembawa parasit malah membuat orang menjadi mudah marah.
Dikutip dari CBS News pada Senin (28/3/2016), para peneliti di University of Chicago mengatakan bahwa suatu parasit yang lazim menular dari kucing kepada manusia dapat berperan pada agresi yang meletup-letup.
Baca Juga
Baca Juga
Penelitian pada toxoplasma gondii ini merupakan bagian dari suatu upaya lebih luas untuk memperbaiki diagnosis dan perawatan orang dengan kemarahan ekstrem yang berulang semisal amarah ketika berlalu lintas (roadrage).
Advertisement
Toxoplasmosis adalah penyakit oleh parasit yang umumnya ditularkan melalui tinja kucing yang terinfeksi. Orang dapat ketularan ketika membersihkan tinja kucing.
Parasit ini juga ditemukan dalam daging yang kurang matang ataupun air yang tercemar. Toxoplasma gondii dibawa dalam sekitar 30 persen manusia dan dalam banyak kasus dipandang tidak membahayakan.
Namun demikian, para peneliti mendapati bahwa pada beberapa orang, ada kaitan antara parasit ini dengan Intermittent Explosive Disorder (IED), yaitu suatu gangguan psikiatri yang bercirikan letupan amarah berulang, impulsif dan bermasalah secara ucapan (verbal) maupun agresi fisik yang berlebihan untuk situasi pemicunya.
Tim di bawah pimpinan Dr. Emil Coccaro dan Dr. Royce Lee dari departemen Psychiatry and Behavioral Neuroscience di universitas tersebut merekrut 358 orang dewasa yang menjalani evaluasi IED, gangguan kepribadian, depresi dan beberapa gangguan psikiatri lainnya.
Para peserta juga mendapat penilaian terkait kemarahan, agresi, dan impuls (letupan-letupan). Sepertiga peserta memiliki IED, sepertiga lagi mendapat diagnosa gangguan psikiatri selain IED, dan sisanya adalah kelompok kendali yang sehat tanpa gangguan psikiatri.
Para peneliti mengungkapkan bahwa orang-orang dengan IED dua kali lebih mungkin positif dalam uji paparan toxoplasmosis dibandingkan dengan kelompok kendali.
Kata Coccaro melalui terbitan pers, “Penelitian kami menengarai bahwa infeksi tersembunyi oleh parasit toxoplasma gondii mengubah zat kimia otak sedemikian rupa sehingga meningkatkan risiko perilaku agresif.”
Melalui hubungan telepon dengan CBS News, Coccaro menjelaskan bahwa perilaku bunuh diri terkait dengan agresi yang kemudian terkait juga dengan inflamasi. Katanya, “Apapun yang masuk ke otak dapat berdampak kepada zat kimia syaraf sehingga memiliki dampak pada perilaku.”
Ada catatan, yaitu kalau seseorang memiliki peningkatan risiko tertular bukan berarti ia pasti tertular. Misalnya, penelitian ini mendapati sekitar 16% kelompok kendali psikiatri teruji positif kena toxoplasmosis, tapi memiliki angka agresi dan tingkat impuls yang sama dengan kelompok kendali yang sehat.
Penelitian baru ini telah diterbitkan dalam Journal of Clinical Psychiatry dan menambah jumlah penelitian yang mengkaitkan toxoplasmosis dengan gangguan psikiatri.
Pada Juni lalu, CBS News melaporkan suatu penelitian yang mengungkapkan hubungan antara kepemilikan kucing semasa kanak-kanak dengan berkembangnya schizophrenia di kemudian hari. Analisa sederhana pada 50 penelitian juga menemukan hubungan antara toxoplasmosis dengan sejumlah gangguan mental.
Teodor Postolache, seorang profesor psikiatri di University of Maryland School of Medicine dan sekaligus penulis dalam penelitian ini, mengungkapkan bahwa salah satu alasan toxoplasma gondii diduga berkaitan dengan gangguan psikiatri adalah karena parasit itu mempunyai gen yang mengeluarkan dopamin, yaitu suatu neurotransmitter dalam otak yang membantu mengatur tanggapan emosi.
Parasit ini juga memengaruhi sistem kekebalan, yang menurut Postolache disebut-sebut akan berdampak pada otak. Namun demikian, para peneliti memperingatkan agar tidak buru-buru mengasingkan kucing.
“Suatu korelasi bukanlah sebab-akibat dan ini tentunya bukan tandanya seseorang harus menyingkirkan kucingnya,” kata Lee melalui terbitan pers.
“Kami belum mengerti mekanisme yang terlibat—bisa saja karena tanggapan inflamatori yang meningkat, modulasi langsung pada otak oleh parasit itu."
Atau bahkan, "alasan terbalik di mana orang-orang agresif cenderung memiliki lebih banyak kucing atau menyantap lebih banyak daging yang kurang matang. Penelitian kami mengisyaratkan perlunya penelitian lanjutan dan bukti lebih banyak pada manusia.”
Coccaro berencana melanjutkan penelitian pada agresi dan penyebabnya dengan harapan untuk mengembangkan cara-cara baru untuk diagnosis dan perawatan gangguan itu.
Kata Coccaro, “Perlu lebih banyak penelitian ekperimen untuk melihat apakah penanganan infeksi tersembunyi toxoplasmosis dengan obat dapat mengurangi tingkat agresi.”
Lanjutnya, “Jika kita pelajari lebih lanjut, kita bisa memberikan dasar untuk menangani IED pada pasien yang positif toxoplasmosis, pertama-tama dengan menyembuhkan infeksi tersembunyinya.”