Liputan6.com, Jakarta Setiap tindakan yang dilakukan oleh setiap manusia pastilah memiliki konsekuensinya tersendiri, seperti kasus Sonya Depari, siswi SMA Methodist 1 Medan (Methosa) Rabu lalu sempat menggegerkan dunia media sosial akibat melawan polwan saat ditilang.
Baca Juga
Bukan hanya melawan polwan, gadis belasan tahun ini mengaku sebagai anak jenderal dan terekam dalam sebuah video sehingga ia mendapat jutaan reaksi pedas dari para netizen.
Dari kacamata psikolog Efnie Indrianie, perilaku Sonya Depari memang arogan jadi pantas saja ia mendapatkan tanggapan negatif. Namun terkadang komentar yang diberikan masyarakat pun dapat meresahkan karena terlalu berlebihan.
Advertisement
"Ciri khas masyarakat kita itu memang reaktif, ditambah kurangnya budaya baca yang baik," ungkapnya saat dihubungi Health-Liputan6.com, Jumat (8/4/2016).
Menurut Efnie, masyarakat di Indonesia masih kurang bisa menempatkan diri untuk menanggapi sesuatu hal. Sebagian besar individu tidak mengetahui persis seperti apa duduk perkaranya namun hanya asal memberikan komentar.
"Ini sudah menjadi salah satu budaya. Mereka cuma main berkomentar dengan gaya menasehati, tapi mereka pun belum tentu juga bisa menangani," jelas psikolog Efinie.
Efnie pun mengungkapkan kasus ini pun terjadi akibat pola pikir masyarakat di Indonesia yang masih salah kaprah terhadap definisi remaja sebenarnya.
"Di budaya kita ini umumnya menganggap remaja itu sudah besar sudah dewasa, padahal secara psikologis belum," ujarnya.