Sukses

Kisah Miris 2 Anak Penjual Tisu

Kulit gadis itu menghitam akibat sengatan mentari yang menyiramnya setiap hari. Wajahnya basah, berkeringat

Liputan6.com, Jakarta Kulit gadis itu menghitam akibat sengatan mentari yang menyiramnya setiap hari. Wajahnya basah, berkeringat. Bajunya tampak lusuh dengan muka memelas, gadis kecil berusia 8 tahun ini menawarkan tisu. "Tisu Om, Tisu Tante,"ujarnya.

"Berapa harganya,"tanyaku.

"4.000 rupiah, Om,"jawab sang bocah berharap tisu itu segera dibeli.

Lalu aku pun bertanya apakah dia sudah makan. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Tanpa malu-malu dia bilang, "belum makan, Om."

Aku pun menawarinya. "Saya bilang kakak dulu ya,"ujarnya. Segera, sambil meletakkan tisu, dia pergi menemui kakaknya yang berada di pinggir jalan di luar warung makan, Minggu (10/4/2016) malam itu.

Agak lama mereka berunding, istriku pun langsung mendatangi kedua kakak beradik itu dan mengajaknya ke dalam. "Saya mau makan, tapi nanti Tante beli tisu saya ya,"kata sang kakak. Istriku pun mengangguk.

Kedua bocah perempuan berambut pendek itu pun akhirnya digiring istriku masuk ke rumah makan dan segera ditanya mau makan apa.

Sambil menunggu makanan, sang kakak, Tjut Intan Mutiara (11) dan adiknya Puti Naysilah (8) mulai menceritakan kisahnya ketika kami tanya-tanya kenapa mereka sampai berjualan tisu.

Tiara, sang kakak sempat berhenti sekolah sejak enam bulan lalu gara-gara harus ke Aceh karena ayahnya meninggal dunia. Selama lima bulan berada di Aceh, tidak ada kabar dan pemberitahuan ke pihak sekolah. Karena itu, tak heran, bila namanya dicoret dan harus menunggu jadwal masuk serta pendaftaran dua bulan lagi.

Siswi kelas 4 di sebuah Madrasah di Citayam, Depok ini akhirnya harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa sekolah lagi. Karena tidak ada kegiatan, mereka pun ikut cari uang. "Jualan tisu ini keinginan saya sendiri, Om. Tidak ada yang nyuruh dan maksa,"katanya.

Setiap hari, kedua bocah ini harus berangkat naik kereta dari Citayam menuju Depok untuk berjualan. Mereka mangkal di depan warung atau rumah makan pecel Mbak Ira, di Jalan Margonda Raya, Depok, Jawa Barat. "Saya dan kakak berangkat jam sepuluh pagi dan pulangnya jam sebelas Om,"kata si kecil Puti yang tampak berani menjawab setiap pertanyaan kami.

40 bungkus tisu muka (facial tissue) dibawa setiap hari. "20 saya, 20 dibawa adik pakai tas ini,"ujar Tiara sang kakak menunjukkan tas hitam besar yang digendong. Meski tidak ada patokan yang diwajibkan bagi mereka saat setor ke toko yang menyediakan tisu, setiap hari setidaknya mereka mendapat uang sekitar 80 ribu hingga 100 ribu rupiah.

"Uangnya ditabung, Om,"jelasnya.

Kegembiraan terpancar dari wajah mereka ketika dua gelas es jeruk sudah tersedia di meja. "Mmm enak,"kata si kecil, Puti.

Kami pun melanjutkan obrolan dan mencari tahu siapa mereka sebenarnya. Ternyata kedua bocah ini saudara tiri. Tiara sang kakak menjelaskan bahwa ibunya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci atau tukang cuci pakaian menikah dengan orang Aceh yang adalah bapaknya. Lalu setelah meninggal tahun lalu, menikah dengan pria Karawang yang setiap harinya bekerja sebagai pengamen.

Adiknya, Puti yang belum sekolah, adalah anak bawaan bapaknya yang baru menikahi ibunya beberapa bulan lalu.

Tiara dan Putri setiap hari berangkat ke Stasiun Citayam bersama adik, kakak usia 13 tahun dan ayahnya. Di Stasiun Depok, Tiara bersama Puti berpisah dengan kakak yang berjualan tisu dan ayahnya yang mengamen di sekitar Depok.

Malamnya, mereka bertemu kembali di Stasiun Depok dan pulang ke rumah.

"Saya nanti juga sekolah Om kalau pendaftaran sudah dibuka. Tapi, sambil jualan tisu juga. Pagi sampai siang sekolah, sorenya jualan tisu,"ujar Tiara yang agak pemalu.

Tampaknya Tiara sudah makan karena nasi dan lauk ayam goreng serta orek tempenya tidak dihabiskan. Adiknya justru yang mengambil jatahnya meski tidak habis juga.

"Tadi dikasih mi dan telor sama orang di jalan,"kata Tiara.

Usai menghabiskan makanan, kami pun membawakan dua bungkus nasi dan sebotol teh untuk dibawa pulang dan dengan senyum mereka melepas kami pulang.

"Terima kasih Tante, Terima kasih Om,"kata Tiara dan Puti yang mukanya sudah tak tampak memelas lagi melainkan sumringah.Â