Liputan6.com, Jakarta Banyak pihak menilai maraknya kasus kekerasan seksual kepada perempuan dan anak disebabkan masih beredarnya situs-situs porno yang masih bisa diakses bebas, walau pun sudah ratusan situs porno yang diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Situs-situs porno itu bahkan dapat diakses menggunakan "smartphone" yang bisa mengakses internet dan data internet yang kuat.
Baca Juga
Akibat menonton video atau situs-situs yang berbau pornografi tersebut, pada akhirnya muncullah keinginan dan kemudian mencari kesempatan dan waktu yang pas untuk meluapkan atau mempraktikkan apa yang telah ditonton kepada kaum perempuan baik dewasa dan anak-anak.
Advertisement
Pengamat Ilmu Komunikasi dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Prof Aloysius Liliwery menilai sejujurnya proses terjadinya kasus kekerasan seksual kepada perempuan dan anak itu tidak terjadi setelah si pelaku menonton konten-konten yang berbau pornografi.
Namun, bisa saja kasus-kasus kekerasan tersebut terjadi setelah seminggu atau sebulan setelah si pelaku menonton konten-konten tersebut.
Artinya bahwa si pelaku tiba-tiba terbayang akan apa yang ditontonnya kemudian pada saat ada kesempatan, yang bersangkutan langsung melakukan aksinya.
Biasanya video atau gambar yang dilihatnya bisa muncul tiba-tiba di pikirannya ketika melihat ada lawan jenisnya yang mungkin saja berjalan sendiri sehingga muncullah niat tersebut.
Ia menilai, kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak yang selama ini terjadi di Indonesia bisa dikatakan semuanya berasal dari konten-konten pornografi yang masih bebas muncul di media-media sosial.
Kementerian Kominfo sendiri hingga 30 April 2016 sudah menutup 754.439 situs porno yang masih bererdar bebas di dunia maya.
Namun menurut pria yang juga Dosen Sosiologi tersebut masih banyak lagi situs-situs porno bayangan yang masih menyebar di media sosial, seperti "facebook, twitter" dan beberapa media sosial lainya.
Bahkan dari situs-situs yang ada di media sosial lebih gampang diakses dan ditonton, dibandingkan situs pornografi yang beredar bebas di dunia maya.
Pria yang kini menjadi Dosen di Pascasarjana Undana tersebut menilai orang tua dan sekolah mempunyai peranan yang penting dalam menjaga dan memantau tindakan yang dilakukan anak-anaknya.
Kasus kekerasan seksual yang menimpa Yuyun merupakan bukti bahwa kurangnya perhatian dari orang tua dan sekolah dalam hal memantau perkembangan anak di luar rumah dan sekolah.
Ia sendiri menyayangkan tindakan kekerasan seksual yang dialami oleh Yuyun justru dilakukan oleh anak-anak yang juga di bawah umur.
Hal ini bukti bahwa pegawasan dari orang tua kepada anak-anak masih sangat kurang.
"Kalau bisa penggunaan 'smartphone' bagi anak-anak SD sampai SMP segera dilarang untuk menghindari penyebaran pornografi sehingga anak makin akrab dengan keluarganya sendiri," tambahnya.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise berencana melarang penggunaan ponsel di sekolah dasar. Alasannya untuk menghindari penyebaran pornografi dan supaya anak makin akrab dengan keluarganya sendiri.
Kurangnya komunikasi antara orang tua dan anak dapat menyebabkan kekerasan terhadap anak, dan kedua pihak dapat menjadi terisolasi. Anak yang tidak mendapatkan perhatian yang cukup memungkinkan anak menjadi pribadi yang kurang terbuka kepada orangtuanya.
Urutan Ke-5
Urutan Ke-5
Menanggapi berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di berbagai daerah di Indonesia, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang penduduk mencapai 5,03 juta jiwa ini telah dikategorikan keadaan darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.
Ketua LBH Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (APIK) Nusa Tenggara Timur Veronika Seuk Ata mengatakan keadaan darurat ini terukur dari maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak dalam tiga tahun terakhir antara 2013-2015 yang terus menambah catatan buram terhadap keberadaan perempuan dan anak di daerah dari waktu ke waktu.
Ia menyebutkan sepanjang 2013 ada 139 pengaduan dengan kategori seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 38 kasus, perzinahan 18 kasus, ingkar janji menikah 15 kasus, perceraian 10 kasus, "trafficking" sembilan kasus dan lainnya.
Dari 139 kasus itu, katanya, 82,01 persen korbannya adalah perempuan dewasa dan 17,99 persen adalah anak-anak. Dan jumlah tersebut berbeda dengan riset media. Dari 100 kasus yang diberitakan media, terbanyak menjadi korban adalah anak-anak 58 persen, perempuan dewasa 41 persen dan satu persen laki-laki dewasa.
Tampaknya kasus yang menimpa anak-anak lebih banyak langsung dilaporkan ke polisi dan jarang diadukan ke LPA dan LBH APIK Nusa Tenggara Timur untuk didampingi guna perlindungan hukum lebih lanjut.
Keadaan NTT darurat kekerasan perempuan dan anak ini didukung data dari Komnas Perlindungan Anak versi Arist Merdeka Sirait.
Kategori itu merujuk pada data dari 21.600 juta pelanggaran hak anak di Indonesia, 58 persen berupa kejahatan seksual.
NTT masuk urutan kelima dari 34 provinsi yang menyimpan atau menjadi korban kekerasan yang dilakukan dalam tiga pendekatan, yakni agama, budaya dan kebiasan-kebiasaan lain.
Advertisement
Sensitif
Sensitif
Menurut Veronika Seuk, masyarakat, keluarga khususnya aparat penegak hukum harus mulai bisa sensitif melihat, bersikap hingga saat menangani kasus percabulan dan pemerkosaan yang terjadi di masyarakat.
Hal yang penting yang harus dilakukan guna mencegah semakin menyebarnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sekarang saat ini adalah korban atau keluarga korban bisa melaporkan hal terkait kekerasan yang dialami kepada lembaga perlindungan anak atau lembaga bantuan hukum APIK sehingga penangananannya bisa lebih serius.
Korban harus berani melaporkan kasus kekerasan yang dialami sehingga penanganannya bisa lebih serius, agar ke depannya para pelaku bisa dihukum dan diadili sesuai dengan UU yang berlaku.
Manajer Program Families First Save The Children Andri Yoga mencatat kekerasan terhadap anak di daerah ini, paling banyak terjadi dalam lingkungan keluarga dengan capaian angka sekitar 93 persen.
Anak sebagai aset keluarga dan bangsa telah menjadi korban kekerasan fisik dan mental dalam lingkungan keluarga sendiri.
Menurut dia, tindakan kekerasan terhadap anak dalam lingkungan keluarga itu antara lain dilakukan orangtua, keluarga, atau orang yang dekat di lingkungan rumah yang bukan masuk dalam jejaring keluarga.
Oleh karena itu, dalam upaya memerangi tindak kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, perlu dilakukan penyuluhan dan kerja sama semua pihak, seperti membendung hal-hal yang berbau pornografi, yang dinilai menjadi penyebab dari maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Selain itu, memberikan pendidikan seksual khususnya mengenai alat-alat reproduksi kepada anak-anak usia dini juga perlu dilakukan agar anak bisa lebih tahu, waspada, dan mawas diri terhadap kemungkinan menjadi korban kekerasan seksual. (Kornelis Kaha/Ant)