Liputan6.com, Jakarta - Erwantoni (44) tak tahu lagi harus mengadu pada siapa. Sementara, hingga kini dirinya deg-degan tinggal di rumah kontrakan yang baru seminggu ditempatinya di Lampung. Sebelumnya, ia diusir warga karena anaknya, Erwansyah Febrianto alias Anto (17), yang diyakininya autisme kerap berteriak-teriak.
"Saya sudah delapan kali diusir dari rumah kontrakan karena anak saya sering teriak-teriak kalau saya tidak ada di rumah. Mereka merasa terganggu dengan suara anak saya ini," ucap Erwantoni saat berkunjung ke redaksi Liputan6.com, Senayan, Jakarta, Kamis (16/6/2016).
Baca Juga
Pemberitaan tentang kehidupan Erwantoni sudah terekspose beberapa media besar di Lampung. Itu membuat kepala Dinas Sosial Bandar Lampung mengatakan akan membantu pengobatan Anto. Sayangnya, diakui Erwantoni, hal ini tidak ada tindak lanjutnya. Karena itu, ia pun harus menitipkan anaknya ke Panti Peduli Lampung.
Advertisement
Erwantoni yang ingin anaknya mendapat pengobatan tak bisa tinggal diam dengan keadaannya tersebut. Ia pun mendatangi Kementerian Sosial di Jakarta dan mendapat respons positif, yaitu mendapat rujukan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).Â
Setelah mendapat penanganan pertama di RSCM, Anto tak dapat ditangani lebih lanjut di rumah sakit dengan alasan otonomi daerah. Pihak rumah sakit memberi rujukan yang ditujukan kepada Dinas Sosial Provinsi Lampung untuk menangani Anto lebih lanjut.
"Bersama staf Kemensos, Dinas Sosial Propinsi, dan Dinas Kesehatan Lampung, pada 2 Juni 2016 anak saya diserahkan di panti untuk kedua kalinya. Waktu penyerahan di panti diterima dengan baik. Tapi anehnya, dua hari setelah itu, saya dipanggil pihak panti dan dia menyatakan keberatan merawat anak saya di sana. Alasannya panti itu bukan untuk anak-anak autis," ucap bapak yang berprofesi sebagai buruh harian ini.
Erwantoni pun kembali mengadu ke Dinas Sosial Kota dan Dinas Sosial Provinsi, tetapi tak ada titik temu hingga hari ini. Ia hanya ingin anaknya mendapat penanganan medis sesuai dengan surat rujukan dari rumah sakit.
"Sampai saat ini anak saya belum juga ditangani, saya sangat kecewa. Saya anggap pemerintah setempat tidak peduli sama sekali. Posisi saya bingung, saya kan warga tapi tidak terima, saya diusir di sana sini, sementara pemerintah tidak peduli," kata Erwantoni.Â
Belum tentu autisme
Ketua Yayasan Autisme Indonesia, Dr. Melly Budhiman SpKJ, menyebutkan Erwansyah belum tentu seorang pengidap autisme. Melly menyebutkan orangtua Erwansyah atau masyarakat tidak bisa langsung menilai bahwa remaja tersebut mengidap autisme kalau belum pernah diperiksakan ke psikiater.
"Kalau anak tersebut tidak pernah berobat dan tidak pernah ke dokter, bagaimana si ayah bisa mendiagnosa bahwa anaknya autis pada umur 17 tahun?" ujar ahli kesehatan jiwa yang berpraktik di Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta, ini.
Bahkan menurut Melly, dia sendiri sebagai dokter tidak bisa langsung mengatakan seorang anak (usia 17 tahun) mengidap autisme hanya dengan melihat gejala seperti teriak-teriak, seenaknya, ketawa-ketawa sendiri, atau perilakunya kacau. "Saya tidak bisa langsung mengatakan bahwa mereka adalah autis. Karena gejala seperti itu sangat mirip dengan penyakit jiwa yang dinamakan skizofrenia," ujarnya.
Untuk mengetahui apakah anak tersebut autis atau sakit jiwa, kata Melly, dokter harus menanyai orang tua perihal tumbuh kembang si anak sejak lahir, bayi, hingga usia sekarang. Jika gejala-gejala tersebut sudah ada sebelum umur tiga tahun, seperti belum bisa berkomunikasi atau belum bisa bersosialisasi, maka bisa saja ini autisme.
Menurut Melly, ada beberapa macam autisme, yakni ringan, sedang, hingga berat. Jika anak ini benar mengidap autisme berat, meski gejalanya sangat mirip dengan orang sakit jiwa. Satu-satunya jalan dengan mengobatinya seperti mereka yang mengalami gangguan jiwa.
"Diagnosa harus dilakukan sebelum umur tiga tahun, sehingga kita tidak bisa bilang kalau anak ini autis di umur 17 tanpa mengetahui riwayat sebelumnya. Sehingga jika sudah berumur 17 tahun dan perilakunya demikian, mau tidak mau harus diobati seperti orang sakit jiwa, seperti misalnya ditenangkan perilakunya, supaya tidak teriak-teriak lagi,"ujar Melly.
Selain itu, kata Melly, karena umur anak tersebut sudah 17 tahun, orangtua sebaiknya membawanya ke psikiater atau ahli kedokteran jiwa agar diberi obat. "Kalau di luar negeri ada pekerja sosial yang mendampingi anak-anak seperti ini berobat, jika di Indonesia ada pekerja seperti ini maka mereka yang akan mendampingi," ujar Melly.