Liputan6.com, Jakarta Rheumatoid arthritis adalah kondisi jangka panjang yang menyebabkan rasa sakit, pembengkakan, dan kekakuan pada sendi terutama terutama tangan, kaki, dan pergelangan tangan.
Penyakit ini mulai penyerang pada usia 40 dan 50 tahun, dengan perempuan tiga kali lebih mungkin terserang dibandingkan laki-laki, dilansir laman Mirror, Senin (4/7/2016).
Ini adalah penyakit autoimun ketika sistem kekebalan tubuh- yang biasanya melawan infeksi- tapi karena kesalahan membuat serangan pada sel-sel yang melapisi sendi sehingga bengkak, kaku, dan nyeri. Seiring waktu, penyakit ini dapat merusak sendi itu sendiri, tulang rawan, dan tulang di dekatnya.
Advertisement
Ilmuwan dari University of Edinburgh menemukan bagaimana senyawa yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh membantu untuk meredam peradangan, dan mencegah kerusakan jaringan yang bagus.
Terapi berdasarkan senyawa ini bisa membantu mengobati rheumatoid arthritis, dan menghentikan penyebab pertama. Hal ini juga mengarah pada pengobatan baru untuk sepsis, di mana respon kekebalan tubuh melebar menyebabkan kerusakan jaringan yang mengancam jiwa.
Senyawa disebut alpha defensin, adalah bagian dari baris pertama pertahanan tubuh terhadap infeksi dengan menghentikan bakteri, dan agen menuliar lainnya untuk berkembang biak.
Percobaan dengan defensin alpha sel manusia ditemukan terlepas dari sel-sel kekebalan yang disebut neutrofil ketika mereka mati. Defensin alpha kemudian diambil oleh sel-sel kekebalan lainnya yang punya nama makrofag.
Senyawa dicegah makrofag dari memproduksi molekul pembawa pesan yang disebut sitokin, atau menyebabkan peradangan.
Efek keseluruhan adalah untuk membatasi peradangan yang berlebihan, membatasi kerusakan pada jaringan sehat tanpa mengorbankan kemampuan tubuh untuk membersihkan infeksi.
"Penemuan ini membuka pintu untuk pendekatan baru pengobatan, dan pencegahan peradangan kronis. Kami berharap dengan penelitian lebih lanjut perawatan ini bisa dimanfaatkan dalam waktu dekat," ujar Pembaca, dan Konsultan Kehormatan di Rheumatology, Dr Mohini Gray dari Medical Reasearch Council Centre.
Â
Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.