Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sustainable Development Goals (SDGs) menangkap adanya keengganan Kementerian Kesehatan untuk menjadi penanggung jawab tercapainya penghapusan sunat perempuan di Indonesia.
Sunat perempuan selama ini merupakan masalah yang tidak menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Padahal sesuai prinsip "no one left behind", maka tidak ada alasan sunat perempuan ditinggalkan dalam pembangunan.
Baca Juga
"Hal ini merupakan ketidakadilan gender," ujar Zumrotin K. Susilo dari Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP), saat konferensi pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sustainable Development Goals (SDGs), yang dilaksanakan di Cikini Raya, Jakarta, Kamis (4/8/2016).
Advertisement
Misiyah dari institut KAPAL perempuan juga menambahkan, "Tubuh perempuan dijadikan obyek penundukan."
Padahal, salah satu agenda pembangunan Indonesia lima tahun ini adalah kesetaraan gender, yaitu sebuah upaya untuk memajukan perempuan dan melakukan pemberdayaan perempuan dalam lintas bidang. Namun faktanya pada 2016, Indonesia menjadi penyumbang terbesar sunat perempuan ketiga setelah Mesir dan Ethiopia dari 200 juta anak perempuan, serta para perempuan yang hidup di 20 negara.
Dalam sebuah mitos disebutkan wanita dianggap memiliki syahwat yang tinggi dan untuk menekannya mereka harus disunat. Padahal, itu justru itu berakibat buruk baik secara fisik maupun psikis. Praktik sunat pada perempuan tak memiliki manfaat dan justru membahayakan. Berbeda dengan laki-laki.
"Sunat pada perempuan sama sekali tidak bermanfaat karena klitoris merupakan tempat saraf yang paling sensitif bagi perempuan. Dengan menghilangkan atau melukainya, maka perempuan sulit mencapai orgasme saat melakukan hubungan suami istri. Kalaupun bisa, mungkin orgasmenya tidak akan sempurna. Padahal, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk menikmati kehidupan seksualnya," ujar Zumrotin.
Bahkan, dalam penelitian jurnalis Udin dkk tentang "Female Circumsision: A Sosial, Cultural, Health, and Religious Perspetives" dijelaskan bahwa sunat perempuan berisiko:
1. Pendarahan yang berakibat pada kematian.
2. Infeksi pada organ dalam dan panggul.
3. Tetanus yang dapat berakibat kematian.
4. Terkena penyakit gangrane.
5. Rasa sakit yang hebat ketika pelaksanaan sunat dan setelahnya.
6. Kerusakan organ dalam akibat pelaksanaan sunat yang salah.
7. Pembengkakan pada uretra sehingga menyulitkan buang air kecil.
Untuk itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Kesehatan, Badan Pusat Statistik, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), dan Menteri agama agar segera menyelesaikan masalah ini. Karena masalah perempuan juga merupakan masalah hak asasi manusia.