Liputan6.com, Jakarta Dua bentuk terapi oksigen diketahui sudah lama membantu “mengelola” dua jenis nyeri kepala. Sebuah dokumen Cochrane Library menyebutkan, para peneliti menjumpai terapi oksigen hiperbarik menunjukkan harapan dalam menghentikan nyeri selama serangan migrain, sedangkan normobarik atau terapi oksigen dengan tekanan normal, meredakan nyeri akibat sakit kepala setempat (cluster).
Migrain menyebabkan nyeri berdentam pada satu area di kepala, kerap dibarengi mual, muntah, sensitif terhadap cahaya dan suara. Sakit kepala setempat menyebabkan nyeri tajam pada satu bagian kepala, termasuk mata, selama 15 menit hingga beberapa jam dan datang secara bergelombang, serangan berulang selama beberapa minggu hingga bulan, diikuti periode tanpa gejala.
Terapi oksigen hiperbarik melibatkan pernapasan menggunakan oksigen murni dalam ruang bertekanan yang tertutup rapat. Sementara dalam terapi oksigen normobarik, pasien bernapas normal dengan oksigen murni yang mudah dibawa.
Advertisement
Untuk studi ini, peneliti menemukan 9 uji klinis yang melibatkan 201 pasien. Mereka membuktikan, terapi oksigen hiperbarik enam kali lebih efektif dalam meredakan nyeri migrain ketimbang terapi plasebo.
Dan terapi oksigen bertekanan normal mengungguli terapi plasebo dalam meredakan sakit kepala setempat. Uji lainnya menunjukkan terapi ini efektif, tetapi tidak lebih baik dari obat ergotamin.
Sayangnya, dinyatakan pimpinan peneliti, Dr. Michael H. Bennett dari Prince of Wales Hospital, Randwick, Australia, seperti dikutip Reuters Health, tidak satupun dari dua terapi oksigen ini mencegah serangan sakit kepala di kemudian hari.
Bennett menduga, migrain melibatkan pembesaran pembuluh darah di kepala dan oksigen hiperbarik menyebabkan pembuluh darah mengerut yang dapat membantu menjelaskan pengurangan nyeri. Ada pula bukti bahwa oksigen hiperbarik menghambat jalur kimia yang membuat orang merasa nyeri migrain.