Liputan6.com, Jakarta - Di masa penjajahan, siapapun ingin ikut berjuang agar Indonesia Merdeka, tak terkecuali para pemuda yang menyandang gelar dokter. Bahkan ada diantara mereka yang juga merasakan dinginnya penjara karena membela negara.
Berkat mereka juga tercetusnya Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei. Siapa sajakah mereka? Berikut ini para dokter yang menyandang pahlawan nasional, yang dikutip dari berbagai sumber:
Baca Juga
1. Wahidin Soedirohusodo
Advertisement
Dokter satu ini adalah lulusan STOVIA (School toot Opleiding voor Indische Artsen) Jakarta, yang senang bergaul dengan rakyat biasa. Ia pun kerap mengobati rakyat tanpa memungut biaya.
Karena itu, dr. Wahidin Soedirohusodo tahu penderitaan, terbelakang serta tertindasnya rakyat akibat penjajahan Belanda. Menurutnya, salah satu cara terbebas dari penjajahan adalah rakyat harus cerdas.
Dokter yang pandai menabuh gamelan serta mencintai seni suara ini pun sering mengunjungi tokoh masyarakat di Jawa untuk diajak mendirikan 'dana pelajar', yang rencananya dana tersebut akan dipakai untuk menolong pemuda cerdas tetapi tidak mampu melanjutkan sekolah. Sayangnya ajakan tersebut kurang mendapat sambutan.
Namun itu tidak membuat pria kelahiran Mlati, Sleman, Yogyakarta, 7 Januari 1852 ini putus asa. Ia pun pergi ke Jakarta untuk mengunjungi para pelajar STOVIA untuk mengungkapkan gagasannya tersebut.
Gagasan untuk mendirikan organisasi yang bertujuan memajukan pendidikan dan meninggikan martabat bangsa dari putra keturunan Bugis-Makkasar ini pun disambut baik. Pada 20 Mei 1908, terbentuklah organisasi Budi Utomo, yang kini diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Meski tidak termasuk pendiri Budi Utomo, namun namanya selalu dikaitkan dengan organisasi tersebut sebab dialah penggagas berdirinya organisasi para pelajar STOVIA Jakarta.
Dokter Wahidin Soedirohusodo juga mendirikan majalah Retna Doemilah (1904) yang artinya penerangan. Ia ingin menyampaikan kepada rakyat pentingnya arti pengajaran. Wahidin juga menerbitkan majalah Guru Desa yang berisikan pentingnya kesehatan sebagai lawan terhadap kepercayaan kepada dukun dan tahayul pada waktu itu.
Pada 26 Mei 1917, dr. Wahidin Soedirohusodo pun wafat diusia 65 tahun, dan dimakamkan di Desa Mlati, Yogyakarta.
2. Radjiman Wedyodiningrat
Lahir di Yogyakarta, 21 April 1879, Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat mulai belajar di bawah jendela kelas mendengarkan pelajaran. Atas belas kasihan guru Belanda, ia pun dapat mengikuti pelajaran di dalam kelas.
Usia 20 tahun, Radjiman pun berhasil mendapat gelar dokter, dan usia 24 tahun meraih gelar Master of Art. Radjiman memilih menjadi dokter karena keprihatinannya melihat masyarakat Ngawi kala itu dilanda penyakit pes. Ia pun belajar secara khusus ilmu kandungan untuk menyelamatkan generasi ke depan, karena banyak ibu-ibu yang meninggal usai melahirkan.
Untuk itu, pada 1934 ia pun memilih tinggal di Kabupaten Ngawi dan mengabdikan diri sebagai dokter ahli penyakit pes. Selain menjadi dokter, Radjiman juga adalah salah satu pendiri organisasi Budi Utomo, dan sempat menjadi ketua di periode 1914-1915.
Manuvernya saat memimpin Budi Utomo adalah mengusulkan pembentukan milisi rakyat di setiap daerah di Indonesia. Ia juga menjadi anggota Volksraad bentukan Belanda.
Pada 9 Agustus 1945, Radjiman pun membawa Bung Karno, dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pengeboman Hiroshima dan Nagsaki.
Dr. Radjiman Wedyodiningrat juga pernah menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ia mempertanyakan tentang dasar negara Indonesia yang diuraikan Bung Karno tentang Pancasila.
Pada 20 September 1952, dr. Radjiman Wedyodiningrat menghembuskan napas terakhirnya di Ngawi, dan di makamkan di Desa Mlati, Yogyakarta, berdekatan dengan dr. Wahidin Soedirohusodo.
3. Sutomo
Dr. Sutomo lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888 dengan nama asli Subroto. Ketika belajar di STOVIA Jakarta, bersama rekan-rekannya mendirikan organisasi Budi Utomo, atas gagasan dr. Wahidin Soedirohusodo.
Tujuan perkumpulan ini adalah untuk memajukan bangsa dan nusa ditingkat pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, dan mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan yang terhormat.
Sutomo pada 1911 lulus dari STOVIA, dan bertugas sebagai dokter di Semarang. Kemudian ia dipindah tugas ke Tuban, Lubuk Pakam, dan akhirnya ke Malang. Di sana ia membasmi wabah pes.
Pada 1919, ia memperoleh kesempatan untuk memperdalam pengetahuan di Belanda. Sekembalinya ke Tanah Air, dokter Sutomo melihat kelemahan yang ada di organisasi yang didirikannya.
Ia pun giat mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik, dan keanggotaannya terbuka untuk seluruh rakyat.
Pada 1924, Sutomo pun mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) yang merupakan wadah bagi kaum pelajar Indonesia. ISC berhasil mendirikan sekolah tenun, bank kredit, koperasi.
Pemerintah Kolonial Belanda semakin keras terhadap pergerakan nasional. Maka pada 1934 dibentuklah komisi BU-PBI yang melahirkan Partai Indonesia Raya atau disingkat Parindra, dengan ketua Sutomo yang berjuang mencapai Indonesia merdeka.
Selain bergerak di bidang politik, dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang kewartawanan. Pada usia 50 tahun, tepatnya 30 Mei 1938, Sutomo menghembuskan napas terakhirnya di Surabaya.
4. Tjipto Mangoenkoesoemo
Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo merupakan dokter profesional yang lebih dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi salah satu pendiri Indische Partij, organisasi partai pertama yang berjuang mencapai Indonesia merdeka.
Ia banyak melakukan perjuangan melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah Belanda di Indonesia. Kegiatan yang berseberangan dengan Belanda membuatnya sering dibuang, dan ditahan ke berbagai pelosok negeri, bahkan ke negeri Belanda.
Pria kelahiran Ambarawa 1886 ini sering menulis tentang penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda, yang diterbitkan di harian De Express. Ini dianggap sebagai usaha menanamkan kebencian terhadap Belanda.
Akibatnya, dr. Tjipto yang kala itu bertugas sebagai dokter pemerintah di Demak, usai memperoleh ijazah STOVIA diberhentikan dari pekerjaannya.
Hal ini membuatnya lebih intens melakukan perjuangan. Pada 1912, bersama Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryadiningrat) mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik.
Belanda yang akan merayakan secara besar-besaran peringatan 100 tahun bebasnya Belanda dari penjajahan Perancis diprotes oleh Tjipto dan pejuang lainnya yang tergabung dalam Komite Bumiputera.
Akibatnya, pada 1913 ia pun dibuang ke Belanda. Namun tak sampai setahun, ia dikembalikan ke Indonesia karena sakit asma yang dideritanya.
Tak sampai di situ, kritik pedas terus dilontarkan untuk Belanda melalui Volksraad, yang membuatnya dibuang dari Solo, dan menjadi tahanan kota di bandung. Padahal saat itu ia tengah membuka praktik dokter.
Selama di Bandung, ia pun mengumpulkan tokoh pergerakan nasional di rumahnya. Belanda mengetahui hal itu kembali membuang Tjipto ke Banda Neira, pada 1927. Di sana ia ditahan selama 13 tahun.
Dari Banda Neira, ia dipindahkan ke Ujungpandang, kemudian Sukabumi, Jawa Barat. Namun, karena udara Sukabumi tak cocok dengan penyakit asmanya, ia kembali dipindahkan ke Jakarta hingga akhir hayat pada 8 Maret 1943, dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa.
5. Moestopo
Lahir di Kediri, Jawa Timur 13 Juli 1913, Profesor Moestopo mengenyam pendidikan dokter gigi di Surabaya. Mulanya ia hanya sebagai praktisi, namun pada 1942 Moestopo ditangkap oleh Kempeitai karena mencurigakan.
Setelah bebas, ia pun bekerja sebagai dokter gigi untuk Jepang. Namun akhirnya ia memutuskan untuk berlatih untuk menjadi seorang perwira tentara.
Setelah lulus dengan pujian, Moestopo pun diberi komando PETA di Sidoarjo, kemudian dipromosikan menjadi komando pasukan di Surabaya.