Liputan6.com, Jakarta Hati-hati saat memposting foto di media sosial khususnya Instagram. Apa yang Anda posting dapat memberikan gambaran tentang perilaku dan kehidupan pribadi Anda, termasuk kondisi kesehatan mental. Tanda-tanda seperti depresi pun dapat terbaca melalui foto-foto yang diunggah seperti dikutip dari Medical Daily, Kamis (25/8/2016).
Baru-baru ini peneliti dari Universitas Harvard, Andrew Reece dan Christopher Danforth dari University of Vermont menggunakan algoritma komputer untuk menganalisis galeri foto yang diunggah ke Instagram untuk memprediksi apakah pengguna menderita depresi.
Baca Juga
Komputer dilatih dengan sinyal seperti warna, pengenalan wajah, dan saturasi yang lebih baik dalam memprediksi depresi daripada manusia rata-rata yang menganalisis unsur subjektif foto, seperti kebahagiaan, kesedihan, disukai, dan ketertarikan. Para peneliti percaya Instagram mungkin bisa digunakan sebagai alat skrining untuk mendeteksi depresi.
Advertisement
Orang-orang dengan depresi atau kecemasan lebih cenderung mengasosiasikan suasana hati mereka dengan warna abu-abu, sementara orang-orang bahagia dengan warna kuning. Selain itu, biru tua dikaitkan dengan suasana hati yang buruk. Hal ini bisa membantu dokter mengukur suasana hati pasien yang mungkin mengalami kesulitan mengekspresikan diri secara verbal.
Dalam studi Danforth dan Reece, program komputer mampu menemukan asosiasi di postingan Instagram yang mendukung teori warna dan suasana hati. Orang dengan depresi cenderung memposting foto yang lebih biru, lebih gelap, dan keabu-abuan. Mereka juga cenderung memiliki lebih banyak komentar di posting mereka.
Dibandingkan dengan peserta sehat yang lebih banyak menyukai filter Valencia dan filter yang lebih hangat, peserta depresi kurang mungkin untuk menggunakan filter apapun, tetapi ketika mereka melakukannya, mereka akan lebih banyak memilih filter Inkwell, yang membuat segalanya hitam dan putih
Danforth dan Reece mengingatkan algoritma mereka tidak bisa benar-benar mendiagnosa seseorang yang sedang depresi. Sebaliknya, program ini bisa membantu dokter mengidentifikasi orang-orang yang berjuang dan membutuhkan bantuan segera. Biasanya, pasien menunggu beberapa bulan antara saat depresi dan mencari pengobatan.
Sebelum melakukan studi, Danforth dan Reece telah meminta izin kepada 166 pengguna Instagram untuk dianalisis, apakah mereka memiliki diagnosis depresi klinis atau tidak. Pada akhirnya temuan Danforth dan Reece ini memberikan bukti lebih lanjut bahwa media sosial dapat meningkatkan risiko depresi.
Â