Liputan6.com, Jakarta Siapa tak ingin memiliki anak lahir dengan normal dan sehat. Setiap orangtua pasti menginginkan hal itu. Begitu juga saya, kepala keluarga yang baru belajar menahkodai bahtera rumah tangga seumur jagung.
Sejak menikah 2 Mei 2016, saya, Roman Nuddin, dan istri, Nurshadrina Khairani Ardedah berharap langsung mendapat momongan, meski tidak menargetkan. Entah laki-laki atau perempuan, bagi saya yang terpenting anak terlahir sehat dan normal.
Benar saja, Tuhan mengabulkan keinginan kami. Selang tiga bulan pernikahan, istri saya merasakan kehamilan. Tentu, ini tidak lepas dari kesungguhan doa saya dan istri setiap saat.
Advertisement
Saya bersama istri sengaja tak mengabarkan kabar baik ini kepada kedua orangtua kami, sebelum benar-benar positif hamil. Sebab, beberapa kali tes kehamilan di bidan hasilnya negatif.
Saya tidak menyerah. Setiap saat berdoa dan yakin, jika memang Tuhan memberikan buah hati kepada kami, niscaya Dia akan menunjukkan dengan terang. Sebaliknya, jika tidak Sang Khalik pun akan menunjukkan dengan caraNya.
Seiring berjalannya waktu, istri saya merasakan mual dan pusing selama beberapa minggu. Saya akhirnya membawa istri saya ke dokter untuk melihat kondisi kesehatannya. Ternyata rahim istri saya sudah bersemayam janin dua bulan.
"Ini sudah jalan dua. Hati-hati ya jagain kandungannya," ujar dokter kandungan Sofani Munzila, seraya memeriksa kandungan istri saya.
"Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas bayi yang kau berikan kepada kami," ucapku usai salat tahajud pada malam setelah datang kabar baik itu.
Doa demi doa saya panjatkan setiap saat kepada Sang Ilahi, agar bayi saya kelak lahir normal dan sehat. Serta dimudahkan dan diselamatkan ibu serta bayinya saat proses persalinannya nanti.
Ujian Kecil
Secara medis, setiap kandungan punya risiko dan karakter masing-masing bagi ibu hamil. Ada yang mengalami berbagai penyakit, ada pula yang normal. Nah, istri saya mengalami kategori yang pertama meski tidak terlalu parah.
Saat usia kandungan tiga bulan, dia mengalami batuk yang tiada henti. Hampir setiap malam istri saya tidak bisa tidur karenanya. Waktu istirahat saya pun ikut terganggu.
"Anak pintar, sudah ya kasih ibu kesempatan istirahat," bisik saya kepada si janin, setiap kali istri saya batuk. Ini juga cara saya membangun komunikasi dan kedekatan dengan junior saya.
Saat dibawa ke rumah sakit, dokter mendiagnosis sinus di hidung istri saya yang menyebabkan batuk. Dokter pun tak berani memberikan obat, ia hanya menyarankan agar istri saya bersabar. Beruntung, setelah tiga bulan berlalu, batuk hilang dengan sendirinya.
Batuk hilang, cobaan lainnya datang. Istri saya cenderung emosional saat usia kehamilan empat bulan ke atas. Dia mudah tersinggung. Tapi saya memaklumi itu, dan menganggap dampak ketidakstabilan hormon ibu hamil.
Pernah saya tersulut emosi gara-gara salah membeli makanan untuk istri saya. Dia terus murung dan tak mau makan. Saya pun kesal pergi ke kantor lebih awal dari biasanya saat kerja shift malam. Dan saya biarkan dia meluapkan emosinya dengan menangis, setiap dia tersinggung.
Tapi, kejadian itu hanya sekali dan akhirnya saya menyadari kesalahan saya. Saya anggap itu sebagai pelajaran buat saya dan istri saya.Â
Memasuki kandungan usia sembilan bulan. Perasaan cemas hampir setiap hari menghantui saya, meski saya selalu berdoa. Selain menjaga nutrisi janin dan istri, saya juga harus pandai menabung, untuk mengantisipasi lahir caesar. Karena biaya caesar sekarang tidaklah murah.
Doa demi doa terus mengiringi kekhawatiran itu. Saya yakin Tuhan akan mengabulkan keinginan saya dan istri saya, lahir normal. Saya yakin kekuatan doa akan mengalahkan semuanya. Itu sudah saya rasakan menjelang pernikahan kami.
Beruntung, lagi-lagi doa saya terkabul. Tuhan menghendaki kelahiran anak kami dengan normal. Padahal, tiga bulan hingga jelang kelahiran kondisi bayi sungsang. Tabungan yang saya siapkan selama ini pun sesuai biaya persalinan di rumah sakit.
"Alhamdulillah, anak saya lahir dengan normal ya Allah," batin saya seraya menitikkan air mata, usai mengazani anak pertama kami setelah persalinan pada 30 Maret 2016, pukul 09.00 WIB.
Perjalanan Suci
Setelah proses persalinan selesai, saya langsung memberikan nama untuk buah hati kami, yang sudah disiapkan sejak hamil. Alesha Lashira Meccadina, perempuan cerdas, beruntung, dan selalu dilindungi Allah SWT. Itulah arti dua kata pertama.
Sedangkan suku kata terakhir, berasal dari perjalanan umrah ke Tanah Suci, saat kandungan berumur enam bulan. Saya dan istri saya sepakat menggabungkan dua kota, Mekah dan Madinah. Sehingga muncul nama Meccadina.
Doa dan harapan kami kelak, bayi kami tumbuh besar menjadi perempuan yang salehah, cerdas, dan selalu beruntung sesuai arti nama tersebut. Saya biasa memanggil gadis kecil saya, Alesha.
Kini, Alesha tumbuh menjadi gadis cilik yang cerdas, kuat, dan murah senyum kepada setiap orang. Termasuk, kepada orang yang baru dikenalnya.
Lantunan ayat Al Quran selama dalam kandungan sepertinya kini membekas pada Alesha. Ia paling suka belajar huruf hijaiyah dan cerita tentang Islam. Setiap kali menangis obatnya cuma satu, berhitung dari angka satu sampai sepuluh dengan tiga bahasa, yaitu Indonesia, Arab, dan Inggris.
Selain suka belajar membaca dan menulis, Alesha juga sudah saya ajarkan melukis, untuk mengembangkan daya kreativitasnya. Bagaimana cara memegang kuas di atas kertas dan kanvas, sudah menjadi jadwal rutin setiap akhir pekan untuk melatih syaraf motoriknya, sekaligus menularkan hobi saya.
"Ayah kerja dulu ya, nak. Baik-baik sama ibu," ujar saya setiap kali saya akan berangkat kerja.
Selain pengetahuan dan kreativitas, saya juga menanamkan pendidikan karakter pada Alesha. Setiap saya melakukan aktivitas sehari-hari kerap saya ajak, dan selalu berkomunikasi. Termasuk bersosialisasi dengan warga sekitar agar dia tak minder.
Kelahiran Alesha sungguh anugerah buat saya dan keluarga. Dia memberi warna dan semangat saya untuk menjalani rutinitas sehari-hari. Kini, memandikan dan mencuci pakaiannya menjadi rutinitas baru saya belajar menjadi sosok ayah yang bertanggung jawab.