Liputan6.com, Jakarta Jangan heran bila masih melihat ada warga yang buang air besar di sungai, sawah, atau selokan saat Anda berada di Desa Kokopai, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur, Sulawesi Utara. Segilintir orang di desa ini masih memiliki perilaku buang air besar sembarangan (BABS).
Tak hanya di Desa Kokopai, perilaku BABS juga masih ditemukan di beberapa area lain yang masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Mooat. Tak heran, tenaga kesehatan Hermansyah Mamonto fokus dalam memberi penyuluhan pentingnya buang air besar di jamban.
Baca Juga
Penyuluhan bahaya BABS itu penting dilakukan karena feses di sembarang tempat bisa menjadi jembatan bagi vektor (lalat, kecoak, tikus) menularkan penyakit. Misalnya tikus bisa membuat tifus, lalu diare dan kecoak bisa membuat diare.
Advertisement
Saat mulai bekerja di Puskesmas pada Maret 2014, pria yang akrab disapa Eca ini memberikan penyuluhan secara konvensional. Rupanya masyarakat enggan untuk dikumpulkan lalu mendengarkan ia berbicara tentang pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat.
"Bukannya tidak berhasil, namun progresnya kurang. Minat masyarakat dalam mengikuti penyuluhan pun kurang," tuturnya saat dihubungi Health-Liputan6.com pada Kamis (6/10/2016).
Tak menemukan peningkatan signifikan dalam mengubah kebiasaan BAB sembarangan lewat cara penyuluhan konvensional, pria yang akrab di sapa Eca ini pun memutar otak. Akhirnya ia mencoba memanfaatkan teknologi video sebagai media penyuluhan.Â
Â
Buat Video Bermodal Ponsel Pintar
Buat Video Bermodal Ponsel Pintar
Jangan bayangkan video tersebut hasil mengambil di Youtube atau video lain, Eca merekam aktivitas masyarakat itu sendiri. Dengan begitu masyarakat tahu secara nyata bahwa kondisi tersebut benar-benar terjadi di wilayah mereka.
"Video tersebut bukan saya ambil dari Youtube, tapi rekam aktivitas masyarakat itu," kata Eca.
Bermodal ponsel pintar miliknya, tanpa perekam suara khusus dan hanya pakai komputer biasa untuk mengedit, Eca membuat video kebiasaan BABS yang terjadi pada masyarakat.
"Ketiadaan alat-alat canggih kerap menjadi alasan tak membuat video sebagai media penyuluhan. Harus menggunakan kamera HD-lah atau pun komputer editing. Namun saya memilih menggunakan cara sederhana dan tak perlu alat canggih untuk membuat video itu," kata Eca.
Dalam salah satu video misalnya, pria lulusan Universitas Negeri Gorontalo ini merekam ibu yang diare. Lalu ia mewawancarai mengenai makanan apa yang sebelumnya dikonsumsi, kemudian menanyakan kondisi rumah serta keberadaan jamban di rumah. Rupanya, si ibu tidak memiliki jamban sehingga ia BABS. Hal ini tentu saja meningkatkan potensi angka kejadian sakit.
"Dalam video tersebut juga saya perhatikan banyak hal, misalnya wajahnya di-blur serta suaranya diubah. Untuk menjaga privasi orang tersebut tentu saja," kata Eca.
Belum tersentuh dengan teknologi elektronik, warga pun antusias dengan cara penyuluhan seperti ini. Mereka dengan semangat melihat video berdurasi di bawah lima menit ini.Â
"Saya bisa lihat wajah mereka antusias. Lalu saat sesi tanya jawab pun banyak pertanyaan yang mereka lontarkan," cerita pria kelahiran 23 April 1991 ini semangat.
Misalnya warga bertanya tentang, "Brur Eca, kalau misal ke kebun lalu ingin BAB, harus bagaimana?". Lalu Eca pun memberikan jawaban bahwa hal itu bisa menggunakan cara tradisional yakni dengan menggali anah lalu tutup kembali. Sehingga feses tidak dihinggapi vektor dalam hal ini lalat.
Dari sekitar 10 video yang dibuatnya, memang sebagian besar tentang mengajak warga pentingnya BAB di jamban. Lalu ada pula beberapa video mengenai perilaku hidup bersih dan sehat, seperti membuang sampah.Â
Â
Advertisement
Penurunan BABS Signifikan
Penurunan BABSÂ Signifikan
Penyuluhan menggunakan video sudah Eca lakukan sejak Maret 2015. Satu tahun berjalan, terdapat penurunan secara signifikan jumlah warga yang BABS.
Bila sebelumnya ada 30 persen warga yang masuk dalam Puskesmas Mooat yang BABS, kini tersisa 15 persen yang masih BABS.
"Menurut saya itu suatu hal yang besar, karena perubahan itu tidak bisa serta merta, ya. Tidak apa-apa pelan-pelan, yang penting ada progres," tutur pria asal Kotamobagu, Sulawesi Utara ini.
Data ini Eca ketahui lewat bantuan kader kesehatan yang terdapat di 10 desa yang masuk dalam wilayah Puskesmas Mooat. Setiap bulannya, kader mengirimkan data mengenai berapa warga yang masih BABS lalu berapa yang sudah membuat jamban maupun jamban semi permanen.
"Pembuatan jamban itu kan merupakan tanda ada keinginan berubah pada masyarakat. Jika sebelumnya tidak peduli, namun sekarang punya jamban itu merupakan progres untuk saya," tutur Eca senang.
Berkat usaha dan kerja keras Eca, pria berusia 25 tahun ini menjadi satu dari 216 Tenaga Kesehatan Teladan 2016 dari Kementerian Kesehatan pada Agustus lalu. Bahkan, ia menjadi Tenaga Kesehatan Teladan termuda.
Tapi penghargaan dari Kementerian Kesehatan tak menghentikan langkah pria yang gemar traveling ini dalam memberikan edukasi mengenai perilaku hidup bersih dan sehat.Â
"Saya ingin terus berinovasi seusai proporsi saya. Berinovasi memutar otak untuk memberikan hal baru agar masyarakat makin paham tentang PHBS. Sekecil apa pun bisa berbuat baik bagi orang lain akan saya buat," pungkas Eca.Â
Â