Liputan6.com, Jakarta DPR baru saja menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau populer disebut Perppu Kebiri.
UU ini mengatur pemberatan pidana atau pidana tambahan serta tindakan bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan pencabulan dengan syarat-syarat tertentu.
Pelaku bisa dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun. Selain dikenai hukuman pidana, pelaku juga dapat dikenai hukuman pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan chip.
Advertisement
Mengenai kebiri kimia, pada prinsipnya seorang dokter akan melakukan tindakan itu tergantung kasus per kasus. Tidak boleh begitu saja memberi suntikan kebiri kimia.
"Mengobati, oke. Tapi untuk membuat orang sakit, tidak oke," kata Dokter Spesialis Andrologi dari Surabaya Johannes Soedjono saat dihubungi Health Liputan6.com pada Kamis (13/10/2016).
Contoh sederhana, dokter akan memberikan suntikan antihormon untuk menekan hormon testosteron pada pasien yang mengalami gangguan seksual (hipersex atau gangguan seksual yang lain) atas permintaan langsung yang bersangkutan.
Dokter pun tidak lantas mengabulkan permintaan tersebut sebelum pasien mendapat terapi seks dari psikolog. Apabila tidak berhasil baru diobati dengan menekan hormon testosteron tersebut.
"Kalau sex therapy tidak berhasil juga, kita boleh melakukan itu untuk pengobatan," kata Johannes.
"Etikanya seperti itu. Pemberian suntikan kebiri kimia tergantung dari konteksnya. Kalau untuk membuat pasien tambah menderita (sesuai etika kedokteran) tidak diperbolehkan," kata Johannes menambahkan.
Apabila nanti ada pelaku pedofilia atau pelaku kejahatan seksual yang lain mendapat hukuman tambahan berupa kebiri kimia, dokter andrologi atau seksologi harus tahu dulu alasan pelaku sampai melakukan kejahatan seksual tersebut.
"Karena tidak bisa mengontrol hasrat seksual? Kalau dia dihukum dan dia minta diobati agar hasrat tersebut dapat terkendali, dari segi medis, boleh diberikan," kata Johannes.
Dengan catatan, pertama kali yang harus "pasien" lakukan adalah terapis psikologis. Kalau tidak bisa juga baru diberikan suntikan anti-hormon untuk menekan hormon testosteron.
Menurut Johannes, dokter-dokter seperti dia yang bernaung di IDI (Ikatan Dokter Indonesia), saat ini terbentur antara menuruti perintah dan tetap patuh pada etika kedokteran.
"Undang-undang itu peraturan tertinggi tapi dokter sendiri juga punya etika kedokteran," kata Johannes.
"Kami menunggu sikap dari IDI, memerintahkan sesuai Undang-undang atau menolak (kebiri kimia) karena etika," kata Johannes menambahkan.
Johannes menambahkan untuk tidak mengaitkan ini dengan tindak aborsi,"Aborsi sendiri ada dua kriteria, kriminal dan tindakan urgent untuk keselamatan si ibu. Boleh melakukan aborsi dengan catatan kalau tidak diaborsi nyawa si ibu terancam. Itu boleh dilakukan."
Namun, apabila seorang dokter melakukan aborsi tidak berdasarkan indikasi dari sisi medis, tindakan itu disebut aborsi kriminalis.
"Itu kriminal. Dan yang berani melakukan aborsi tanpa indikasi medis hanyalah oknum, bukan dokter," ujar Johannes.