Liputan6.com, Jakarta Cacian, cemoohan, penolakan dan aneka kejadian tak menyenangkan pernah dialami Desi Yusnita saat bertugas sebagai nutrisionis. Namun hal itu tak menggentarkan semangatnya untuk meningkatkan status gizi warga di kampung halamannya di Pasar Kepahiang, Bengkulu.
Awal bekerja di Puskesmas Pasar Kepahiang di 2009, Desi, sapaan akrab wanita 29 tahun ini, mendapat data hanya ada 30 persen balita yang diperiksakan tumbuh kembangnya di pos pelayanan terpadu (Posyandu). Hal ini membuat periode emas anak pun tidak bisa terpantau oleh tenaga kesehatan.
Baca Juga
Â
Advertisement
"Padahal saat itu ada belasan anak yang alami gizi buruk dan gizi kurang di area wilayah puskesmas. Jika tidak ke posyandu, mana bisa kami ketahui," kata Desi saat dihubungi Health-Liputan6.com pada Jumat (14/10/2016).
Belum tersentuhnya masyarakat dengan informasi kesehatan membuat warga lebih percaya dukun daripada dirinya yang khusus belajar tentang gizi di Poltekes Kemenkes Bengkulu. Jadi tak heran, sebagian warga memilih membawa anaknya yang kurus dengan perut buncit ke dukun daripada ke tenaga kesehatan seperti dirinya.
Menurut wanita yang memang lahir dan besar Pasar Kepahiang ini, sejak dulu kepercayaan warga pada dukun memang tinggi. Beragam alasan ada di balik tingginya angka kedatangan ke dukun. Alasan terbesar adalah ketakutan warga ditarik biaya mahal bila memeriksakan anaknya di tenaga kesehatan.
"Jadi mereka tuh berpikir kalau ke tenaga kesehatan itu bayarannya mahal, padahal mereka yang 'berobat' ke dukun maharnya tak kalah besar. Misal kalau anak mereka sembuh harus membayar dengan ayam hidup atau bawa beras atau uang," cerita wanita kelahiran 8 Desember 1986 ini.
Padahal, kalau penduduk membawa balitanya ke posyandu atau pun puskesmas akan dikasih makanan seperti susu. Lalu jika kondisinya parah, juga segera dirujuk dan diantar ke rumah sakit.
Â
Bantuan Desi dilempar ayah pasien
Pernah suatu hari, Desi mengunjungi rumah bocah berusia tiga tahun yang status gizinya buruk. Tubuh bocah tersebut kurus dengan berat badan di bawah garis merah (berdasarkan kriteria Kartu Menuju Sehat). Alih-alih diterima dengan baik, amarah ayah bocah yang didapat.
"Sesudah ketok pintu, bapak anak itu marah-marah. Ia tanya, 'Ngapain kamu ke sini?'. Lalu saya katakan padanya bahwa status gizi anaknya buruk tapi tentu dengan cara yang berusaha tidak menyinggungnya," cerita Desi semangat.
Lalu bapak itu mengatakan bahwa anaknya kurus memang karena sudah keturunan. Ia juga sudah membawa ke ahli. Bukan ahli tenaga kesehatan maksudnya, melainkan dukun.
"Saya sudah (membawanya) berobat ke dukun. Enggak boleh itu anak kurus diberi susu atau telur. Bisa cacingan nanti," tutur Desi meniru ucapan bapak dari bocah tiga tahun itu.
Tak cuma ditolak, makanan tambahan yang sengaja di bawa Desi untuk bocah ini dilempar. Susu, roti, tempe yang dibawanya pun berserakan di halaman bapak ini.
"Sedih pasti, tapi ya, saya harus putar otak agar bapak ini mau mendengarkan saya," kata wanita berjilbab ini.
Keesokan harinya ia kembali mendatangi rumah bocah itu bersama Pak Lurah. Desi pun berupaya untuk menjelaskan bahwa putra bapak itu perlu diperiksa. Namun sang bapak masih juga belum mau mendengar penjelasan Desi dan Pak Lurah.
"Dengan perjuangan tiga hari, bapak ini akhirnya mau dengan kami. Setelah dicek, rupanya anak ini ada penyakit kelainan jantung. Segera kami bawa ke RSUD Kepahiangan. Baru setelah kondisinya membaik, dibawa pulang ke daerah asalnya di Sumatera Selatan," tuturnya senang.
Advertisement
Curhat Ketua PKK awal perubahan
Curhat Ketua PKK awal perubahan
Mengingat jumlah balita yang dibawa ke posyandu sedikit tak mengherankan bila ada yang status gizinya kurang atau gizi buruk. Salah satunya terjadi di Desa Bogor Baru. Pada saat itu Ketua PKK setempat curhat ke Desi mengenai beberapa anak yang mengalami masalah gizi.
"Ketua PKK ini curhat, 'Gimana biar tidak ada masalah gizi lagi seperti ini?'. Kemudian saya pun punya ide bentuk Kelompok Sadar Gizi," papar Desi.
Setelah berdiskusi dengan kepala desa setempat, akhirnya sepakat dibentuklah Kelompok Sadar Gizi yang melibatkan kader kesehatan setempat pada 2015.
Awalnya, para kader kesehatan desa mengajak warga tanpa paksaan untuk bergabung. Awal dibentuk sudah ada 30 orang namun tidak hanya terdiri dari ibu dan balita saja, ada juga ibu hamil, remaja, dan lansia. Setiap bulan ada topik-topik kesehatan yang dibahas seperti masalah gizi, pentingnya ASI eksklusif, gizi pada ibu hamil, gizi pada balita, anemia pada remaja, hingga gizi pada lansia.
Lalu jika ada masalah kesehatan, tak langsung disampaikan padanya namun pada kader terlebih dahulu. Dari kader baru kemudian disampaikan ke kepala desa lalu ke dirinya.
"Kader kesehatan yang ada kan dari warga sendiri, jadi memang lebih dekat. Kalau mau cerita, konsultasi lewat kader dulu. Sehingga warga lebih mau terbuka begitu, tidak malu. Pendekatan seperti ini rasanya lebih efektif," kata Desi menuturkan strateginya memberikan penyuluhan.
Setahun berjalan, anggota Kelompok Sadar Gizi ini pun jumlahnya kini 50 orang. Mereka yang belum menjadi anggota kelompok juga jadi semangat dan mengajukan diri sendiri untuk ikut.
"Mereka dengar dari tetangganya jadi lebih banyak ilmu gitu, jadi tahu banyak. Jadi warga yang belum gabung mengajukan diri sendiri gabung ke kelompok ini," tutur Desi senang.
Bahkan Kepala Desa Bogor Baru pun mendukung ditandai dengan keluarnya Surat Keputusan mengenai kehadiran kelompok ini. Begitu pula dengan Pak Camat  yang ikut memberikan dukungan terhadap kelompok ini.
Buah manis jerih payah
Salah satu kesuksesan dari pembentukan Kelompok Sadar Gizi bisa dilihat dari jumlah balita di Desa Bogor Baru yang ke posyandu meningkat hingga 80 persen di tahun 2015-2016.
"Jika dulu di 2009-2014 jumlah balita yang ke posyandu hanya 30-40 persen, susah sekali hingga 50 persen. Namun kini sudah 80-an persen," ungkapnya bahagia.
Jumlah balita yang mengalami gizi buruk maupun gizi kurang pun kini bisa ditekan. Jika pun masih ada balita yang kurang gizi atau mengalami gizi buruk, bisa segera dilakukan intervensi agar tidak semakin parah.
Desi juga tak menampik warganya masih banyak yang percaya pada kemampuan dukun. Tapi hal ini tak jadi masalah besar lagi baginya. Sebelum ke dukun, biasanya warga sudah konsultasi dulu ke tenaga kesehatan.Â
Keberhasilan Kelompok Sadar Gizi membuat Desi berkeinginan untuk membuat kelompok yang sama di sembilan desa lainnya yang masuk dalam wilayah kerja Puskesmas Pasar Kepahiang.
Keberhasilannya menjalankan Kelompok Sadar Gizi membuat Desi jadi salah satu dari 216 tenaga kesehatan teladan dari Kementerian Kesehatan di 2016. Tapi, ia tak mau berhenti di situ saja.
"Alhamdulillah sekarang jadi kebanggaan orangtua. Tapi masih pengin di wilayah saya tidak ada lagi gizi kurang dan gizi buruk," harapnya.
Â
Advertisement