Liputan6.com, Jakarta Sudah jadi tugas bidan untuk memeriksa berat badan, tinggi badan, serta tumbuh kembang bayi dan balita. Ni Putu Nusrani juga melakukan itu. Namun ketika dirinya menemukan anak difabel yang berasal dari keluarga tidak mampu, ia pun tidak tinggal diam.
Bagi Putu, begitu wanita ini disapa, rasanya tidak tega melihat anak-anak yang mengalami tuna rungu, tuna daksa, gangguan mental, ataupun bibir sumbing dibiarkan saja tanpa ada usaha lebih. Hal itu sudah dilakukan sejak pertama dirinya bekerja di Puskesmas Rendang, Kabupaten Karang Asem, Bali pada 2000. Ia aktif membantu anak-anak difabel agar kondisi lebih baik.Â
Baca Juga
Selain itu, ia pun rela terjun langsung mencari yayasan sosial yang bisa membantu anak-anak dengan bibir sumbing bisa menjalani operasi. Untuk anak lumpuh, Putu berusaha mendapatkan kursi roda agar anak-anak tersebut tidak tinggal diam di dalam kamarnya.
Advertisement
Bagi Putu, bukan sepenuhnya salah orangtua membiarkan anak-anak mereka tidak berdaya. Sebagian masyarakat di wilayah kerjanya, kondisi perekonomian mereka menengah ke bawah. Belum lagi jauhnya fasilitas kesehatan yang memadai untuk terapi difabel. Paling tidak untuk mencapai sana perlu ditempuh dua jam perjalanan.
"Kami di Bali, tapi daerahnya di Karang Asem tepat di bawah kaki Gunung Agung. Sehingga untuk menjangkau fasilitas kesehatan seperti rumah sakit yang bisa memberikan terapi tumbuh kembang itu jauh," kata wanita kelahiran 1 Januari 1976.
Setelah belasan tahun aktivitas sosialnya berjalan tanpa pencatatan yang rapi, akhirnya pada 2014 lalu secara resmi terbentuk kelompok anak-anak difabel berada di bawah Puskesmas Rendang. Di dalamnya ada anak-anak tuna daksa (lumpuh maupun yang bisa jalan namun agak pincang), tuna rungu (gangguan pendengaran), tuna netra, bibir sumbing, dan gangguan mental.
"Kami (Putu dan teman-teman dari Puskesmas) kumpulkan menjadi satu kelompok, baik itu bayi maupun balita tuna daksa, tuna runga, tuna netra, dan anak-anak yang mengalami gangguan mental," kata Putu saat dihubungi Health-Liputan6.com ditulis Jumat (20/10/2016).
Kehadiran kelompok ini, menurut Putu agar memudahkan bayi dan balita ini mendapatkan terapi. Khususnya bagi anak-anak yang tuna rungu.
"Setelah anak-anak tuna rungu ini mendapat alat bantu dengar, tidak cukup berhenti di situ. Namun dilatih agar membiasakan diri menggunakan alat bantu dengar bagi yang tuli ringan dan sedang. Sementara yang tuli berat kami latih dengan bahasa isyarat," kata ibu tiga anak ini lagi.
Latihan berkomunikasi bagi tuna rungu ini dilakukan dua minggu sekali setiap hari Minggu pukul 9-12 WITA. Bukan di Puskemas, namun di rumahnya yang berada di Desa Nongan. "Nanti ada relawan dari Denpasar yang akan mengajari mereka untuk itu," lanjut Putu.
Tak cuma berlatih komunikasi, kadangkala Putu juga mengajak anak-anak ini untuk menari. "Bukan untuk apa-apa, saya hanya ingin mereka senang dengan menari," tuturnya sembari tertawa.
Kini ada 13 anak tuna rungu, delapan anak gangguan mental, lalu empat orang tuna netra, dan 14 anak tuli bisu yang masuk dalam kelompok ini. Anak-anak ini sebagian besar berasal dari Kecamatan Rendang, serta kecamatan tetangga.
Penolakan saat ingin membantu
Niat baik Putu membantu anak-anak difabel agar kondisinya jauh lebih baik tidak selalu berjalan mulus. Di awal menawarkan bantuan, ia sering mendapat penolakan dari orangtua bayi. Namun Putu tak putus asa, ia terus membujuk hingga orangtua bayi tersebut setuju.
Pernah suatu ketika saat ia mengunjungi rumah bayi dengan kondisi sumbing, orangtuanya tak mau membawa ke rumah sakit untuk dioperasi. Padahal selain anak tersebut alami bibir sumbing juga alami gizi buruk dan pneumonia.
"Orangtua percaya ini (bibir sumbing) sudah bawaan lahir. Padahal saya sudah katakan bila dioperasi gratis. Kalau mau di operasi kan tidak cacat lagi, bisa normal. Tapi saya ditolak keluarganya berulang kali," kata Putu.
Penolakan ini justru membuat Putu semangat membujuk orangtua bayi tersebut untuk memberi izin menjalani operasi bibir sumbing. Terlebih berat badan anak tersebut turun dari 2,8 kg menjadi 2,1 kg saat usia tiga bulan.
"Kondisi bibir sumbing bikin anak ini tidak bisa minum ASI. Jika diberikan susu, anak ini tersedak. Belum lagi, anak ini terkena pneumonia," kata Putu.
Setelah sekian kali membujuk, akhirnya orangtua bayi tersebut memperkenankan bayi dibawa dengan syarat, harus dirawat oleh Putu sendiri. Selama dua minggu bersama Putu, berat badan bayi ini pun naik menjadi 2,7 kg. Orangtua bayi tersebut mau anaknya dirujuk ke rumah sakit.
"Anak ini sekarang sudah dua tahun. Sudah operasi dua kali. Wajahnya sudah bagus lah secara visual," tutur Putu.
Namun itu cerita lama. Kini, orangtua yang memiliki anak-anak dengan tumbuh kembang tidak sesuai langsung mendatangi dirinya. "Kalau dulu susah, harus turun naik gunung untuk nyari anak-anak difabel. Kalau sekarang orangtua datang sendiri," kata Putu.
Advertisement
Bantuan datang dari dalam dan luar negeri
Untuk bisa berbuat baik tak perlu menunggu kaya begitu kata Putu. Seperti dirinya, ia bukan orang berada secara finansial namun punya niat membantu anak-anak difabel.
"Saya tidak perlu menunggu kaya untuk berbuat sosial. Saya ndak berada, tapi saya jalankan saja. Saya hanya sebagai jembatan. Ketika ada anak bibir sumbing misalnya saya meminta tolong mitra kami yakni yayasan sosial swasta untuk bisa menolong," tuturnya.
Saat menjalankan aksi sosial ini, Putu menemukan banyak orang-orang baik yang membantu. Banyak orang maupun lembaga yayasan sosial bisa memberikan bantuan untuk membuat hidup anak-anak ini jadi lebih mandiri.
"Saya bersyukur sekali, ternyata di lingkungan kita banyak yang perhatian terhadap anak-anak ini," katanya senang.
Tidak hanya dari dalam negeri, bantuan pun ia dapat dari yayasan sosial yang berada di luar negeri. "Bantuan bisa berupa alat, seperti alat bantu jalan, alat bantu dengar," kata Putu.
Putu pun pernah menghadapi satu kasus yang cukup berat. Kala itu, seorang anak alami bibir sumbing parah, sampai-sampai kelopak matanya selalu terbuka. Sudah jalani operasi beberapa kali namun tetap tidak bisa mengatasi pada bagian kelopak mata yang terus terbuka. Anak ini pun di bawa ke Australia untuk jalani operasi tersebut.
"Sampai tiga bulan anak itu di sana. Ketika dia kondisinya sudah bagus baru dibawa pulang kini dia percaya diri. Bahkan bisa melanjutkan sekolah jenjang SMP," kata Putu puas.
Inspirasi dari ibu dan adik yang difabel
Menjadi bagian dari keluarga yang beberapa anggotanya difabel jadi alasan terkuat bagi Putu melakukan aksi peduli terhadap bayi dan balita difabel lain di wilayahnya. Ibu Putu buta, sementara adiknya polio.
"Saya memang berlatar belakang keluarga dengan disabilitas. Meski begitu, keluarga kami tidak putus asa dan tetap bersemangat. Kami tidak pernah malu dengan kondisi anggota keluarga kami yang difabel," kata Putu.
Sayangnya, Putu tak melihat semangat yang sama pada keluarga dari anak-anak difabel saat bekerja sebagai bidan di Rendang. Banyak orangtua dari anak-anak difabel yang pasrah dan menerima nasib. Padahal masih banyak hal yang bisa diusahakan agar anak-anak bisa lebih baik. Inilah alasan Putu terus bergerak membantu mengusahakan anak-anak difabel memiliki kondisi yang lebih baik.
Misalnya menggunakan alat bantu dengar bagi yang tuli, berlatih bahasa isyarat bagi yang tuli berat. Bergerak menggunakan kursi roda bagi yang lumpuh. Melakukan operasi bagi anak yang memiliki bibir sumbing.
"Anak-anak difabel ini harus diberikan cara agar mandiri. Kalau orangtua mereka meninggal lalu siapa yang merawat?," kata wanita lulusan STIKES Bali ini.
Ia pun sering mencontohkan adiknya yang polio kepada orangtua difabel lainnya. Bahwa anak polio pun mampu sekolah hingga sarjana dan bekerja. Sehingga ia yakin, bila ada usaha anak-anak tersebut pun bisa mandiri.
Putu beruntung, banyak pihak yang mendukungnya menjalankan program sosial ini. Mulai dari rekan-rekan di Puskesmas, pemerintah, yayasan sosial dan paling penting dari keluarganya sendiri.
Berkat inovasinya membentuk kelompok anak-anak difabel agar kondisi mereka lebih baik itu juga membuat istri dari Kande Komang Sandiarsa terpilih menjadi salah satu dari 216 Tenaga Kesehatan Teladan yang diberikan Kementerian Kesehatan pada Agustus 2016 lalu.Â
Advertisement