Sukses

Terapi Imun, Harapan Baru bagi Penderita Kanker

Pemeriksaan imun merupakan hal penting dalam penatalaksanaan kanker dengan imunoterapi.

Liputan6.com, Jakarta Para ilmuwan hingga kini bekerja keras untuk menemukan suatu cara deteksi dini terhadap kanker. Mereka juga fokus pada pengobatan terkini yang mempunyai efektivitas tinggi untuk penyembuhan kanker, dengan menggunakan teknologi diagnostik dan target terapi yang kini sudah semakin maju di dunia medis.

Salah satu hasil kerja keras para ilmuwan tersebut adalah Circulating Tumor Cells (CTC) dan sitotoksisitas Natural Killer (NK) sel sebagai prediktor kemampuan tubuh untuk mengatasi sel kanker.

"Bila sebuah penemuan baru dalam dunia kedokteran baik dan selaras dengan etika kedokteran, maka perlu mendapatkan perhatian dan apresiasi, serta dukungan demi kemajuan dunia medis yang lebih baik," kata Ketua IDI Cabang Jakarta Barat, dokter Dollar, melalui siaran pers, Selasa (24/10/2016).

Pemeriksaan imun, kata dia, merupakan hal penting dalam penatalaksanaan kanker dengan imunoterapi. Dengan begitu, dibutuhkan dukungan laboratorium yang dapat melihat kadar imunitas dalam darah.

Guru Besar dan pengajar alergi imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Samsurijal Djauzi mengatakan, selain teknologi diagnostik dan pengobatan modern, yang diperlukan untuk keberhasilan terapi kanker adalah imunitas (ketahanan tubuh) dari penderita kanker.

Terapi Imun merupakan modalitas terapi yang dapat meningkatkan keberhasilan terapi kanker. Menurutnya, berkembangnya imunologi dan ilmu lain yang terkait, terapi imun menjadi metode baru yang menjanjikan untuk terapi kanker.

“Kita perlu mengikuti perkembangan imunoterapi, sehingga dapat memilih terapi yang efektif dan dapat diterapkan di Indonesia. Dukungan laboratorium diperlukan untuk menerapkan imunoterapi,” kata Samsurijal dalam seminar bertema “Cancer Immunotherapy: Improving Quality of Life By Personalized Approach” beberapa waktu lalu.

Saat ini terapi imun kebanyakan digunakan bagi penderita kanker stadium lanjut. Sebab beberapa pengobatan standar selama ini, seperti operasi, kemoterapi atau radiasi sudah cukup baik, tapi efektivitasnya masih rendah untuk kanker stadium lanjut.

“Karena itulah terapi imun baik digunakan sendiri atau dikombinasi dengan pengobatan standar yang sudah ada selama ini, sangat efektif untuk kanker stadium lanjut. Terapi ini dapat meningkatkan keberhasilan terapi standar," ujarnya.

Terapi imun memang bukan hal baru sebab metode ini sudah mulai dikenal di luar negeri sejak 1985, dan hasilnya semakin baik di 2010. Di sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Singapura, dan lainnya, sudah menggunakan terapi imun sebagai pengobatan alternatif untuk kanker. Beberapa negara bahkan sudah mematenkan antigen untuk sejumlah penyakit, seperti kanker pankreas dan kanker paru.

Puluhan obat untuk imun terapi juga sudah dipasarkan di berbagai negara. Akan tetapi di Indonesia masih dalam tahap uji klinis dan persiapan.

Rumah sakit menjadi pusat-pusat penelitian imunoterapi di Indonesia, antara lain RSPAD Gatot Subroto, RSCM, RS Kanker Dharmais, dan MRCCC Siloam Semanggi yang bekerja sama dengan PT Anho Biogenesis Prima Indonesia dan PT Biogenesis Genome International dengan laboratorium khusus yang dapat memfasilitasi kemajuan imunoterapi di Indonesia.

Untuk mengembangkan imunoterapi di Indonesia, rumah sakit tersebut bekerja sama dengan sejumlah negara.

Menurut Samsurijal, Indonesia sangat membutuhkan terapi imun, mengingat rata-rata pasien yang didiagnosis sudah stadium lanjut. Untuk menerapkannya di Indonesia dibutuhkan kesiapan sarana prasarana, tenaga kesehatan di bidang imun terapi, biaya yang cukup, dan laboratorium.

“Terutama kesiapan dari ahli kankernya, yang menentukan mana yang patut diberikan dan tidak diberikan. Ahli inilah yang memilih. Ahli ini juga harus dibantu oleh teknisi, saintis dan teknologi, karena ini beda dengan kemoterapi yang diinfuskan atau disuntikkan. Apalagi kebanyakan terapi ini berasal dari tubuh penderita kanker itu sendiri,” katanya.

Persiapan laboratorium juga penting terutama untuk terapi yang sifatnya personal. Juga dukungan biaya karena saat ini terapi baru belum dijamin dalam program JKN. Di Belanda, pemerintah menyediakan terapi ini di setiap rumah sakit rujukan khusus kanker.

Samsurijal menuturkan, untuk tahap awal terapi imun di Indonesia bisa dimulai dari sedikit rumah sakit, sehingga mudah mengawasi teknik, mutu, dan potensi penyalahgunaannya. Baru kemudian diperbanyak di semua fasilitas kesehatan, sehingga masyarakat mudah mengaksesnya.

Dokter Spesialis Endokrin Metabolisme dan Diabetes dan Chief Medical Officer, Aris Wibudi, mengatakan satu-satunya penanganan yang sempurna adalah pencegahan. Sayangnya pencegahan ini masih belum menjadi kebiasaan masyarakat.

Teknologi deteksi dini sudah banyak dilakukan baik itu radiodiagnostik, patologi klinis dan pemeriksaan khusus. Ini sangat membantu untuk mencegah kanker menjadi lebih parah, sehingga kualitas hidup penderita lebih baik.

Saat ini penyakit kanker menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Data Globocan 2012 menyebutkan sekitar 13 persen kematian di seluruh dunia disebabkan oleh kanker.

Di dunia saat ini terdapat 14,1 juta kasus kanker baru, 8,2 juta kematian dan 32,6 juta orang hidup dengan kanker (kemungkinan hidup selama 5 tahun). Hampir 50 persen dari kasus tersebut terjadi di negara berkembang seperti Indonesia.