Liputan6.com, Jakarta Hari itu tepat 27 tahun lalu, wanita berambut panjang ini melihat namanya tertera dalam selembar kertas pengumuman penerimaan mahasiswi baru di Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia tak pernah menyangka sebelumnya, lalu dalam hatinya berkata, “Duh, jurusan apa ini?”
Begitulah yang dirasakan dokter gigi R. Ngt Anastasia Ririen Pramudyawati, wanita kelahiran 1971 ini. "Aku tidak pernah memilih jadi dokter," ungkap Anastasia, Jumat lalu saat dijumpai Health-Liputan6.com di kawasan Kota Tua, Jakarta Pusat, ditulis Kamis (17/11/2016).
Baca Juga
Awalnya, anak bungsu dari enam bersaudara ini memutuskan untuk menjadi seorang arsitek lantaran sejak kecil ia sering melihat buku-buku hardcover asal Netherland yang lengkap dengan gambar rancang bangun. Hingga usia empat tahun, seorang paman Anastasia berkata padanya, kalau buku-buku itu adalah dunia arsitek.
Advertisement
"Saat itu yang aku lihat, khayalanku adalah satu tentang landscape jadi aku sangat suka dunia rancang bangun. Sejak paman memberitahu itu dunia arsitek, aku jatuh cinta pada bidang itu. Aku piara mimpi itu dari aku kecil sampai sebelum aku menulis pilihan university," ceritanya sambil mengingat kembali.
Namun, impian yang sudah tertanam sejak kecil tak dapat terkabul lantaran sang kakak tidak setuju. "Kakakku tidak setuju dia bilang, 'Aku enggak mau lihat kamu kecapekan, kamu tukang gliyer, tukang lemes',” ia menceritakan.
Meski cita-citanya tak tercapai, bukan berarti wanita kelahiran Enarotali, Papua ini tidak bersungguh-sungguh menjalankan pendidikannya. Justru ia berhasil mengantongi nilai A hampir di setiap mata kuliahnya. Tahun pertama di bangku kuliah Anastasia masih mengejar IP tinggi tapi tujuannya mendadak berubah, ”Aku mengalami sesuatu yang mengubah tujuanku untuk menjadi dokter bukan hanya mencari nilai."
Proses pendidikan kedokteran gigi yang dijalankan Anastasia berjalan cukup lancar, tetapi sistem pendidikan saat itu masih berbasis kurikulum Belanda. Jadi, satuan kredit semester atau SKS yang diikuti Anastasia hampir setengahnya merupakan ilmu kedokteran umum.
Anastasia juga mengaku bahwa tak banyak cerita suka duka atau pengalaman sewaktu koas (dokter muda). Tetapi pengalaman riil setelah lulus dan menjadi dokter pengganti di pedalaman Papua menjadi kisah yang menarik.
Digulung ombak
Pesona keindahan pulau Papua memang memikat semua orang yang berkunjung ke sana, begitupun yang dirasakan Anastasia. "Yang paling indah ketika saya kembali ke Papua," ucapnya sambil menghela napas dan tersenyum.
Ini bukan kali pertama Anastasia memijakkan kakinya di Papua. Sejak TK hingga SMP, ia sudah lebih dahulu menghabiskan waktu kecilnya di Nabire. Hampir 100 persen darah yang mengalir dalam tubuh dokter gigi cantik ini Yogyakarta, tapi dirinya lahir dan besar di Enarotali, Papua.
"Dulu papa aku itu Tentara, dan pas aku lahir papa masih bertugas di Papua. Masa kecil aku habiskan tepat di 2 ribu meter di atas permukaan laut dan sebagian besar pada saat itu (penduduknya) orang Belanda, juga orang setempat. Waktu kecil aku tidak mengerti bahasa (Belanda) mereka, aku hanya mengerti bahasa nabire," katanya.
Sejak lulus sarjana Kedokteran Gigi UGM pada 1997 dan menjalankan beberapa studi di Yogyakarta hingga akhirnya terbang ke Jakarta untuk bekerja, wanita yang mengaku pecinta seni ini tak lagi pernah kembali ke Papua. Sampai pada akhirnya ia mendaftarkan diri untuk praktik di Puskesmas Werba, Fakfak, Papua, 2009 silam.
"Di sinilah aku menyebut diriku sebagai dokter pedalaman dan untuk pertama kalinya aku ada dalam sebuah lingkungan Papua yang mereka (penduduk setempat) punya tradisi satu tugu tiga batu, jadi Muslim, Kristen dan Katolik itu sangat membaur dalam kehidupan keseharian," ucapnya sambil tersenyum.
Selama memberikan layanan kesehatan di Fakfak, Anastasia harus menempuh jarak sejauh 35 kilometer dari tempat tinggalnya menuju lokasi bekerja. Jalannya cukup menyeramkan lanjutnya, setiap hari track yang dilalui turun, naik, dan curam. Jalannya juga harus memutari gunung dan di sisi kiri kanan jalan jurang.
"Tapi aku tidak pernah merasa kalau jalannya sejauh itu. Mungkin karena aku happy kali ya, ditambah mereka (pasien) sangat bisa beradaptasi dengan apa yang dokter mau," katanya.
Pernah satu hari Anastasia akan melakukan pelayanan di pulau perbatasan antara Fakfak dan Australia, tapi perjalanannya tak semulus yang ia perkirakan.
Menaiki speed boat, Anastasia bersama kolega dan asistennya pergi ke pulau tersebut. Di tengah indahnya pemandangan yang sedang ia nikmati, seketika tubuh mungil wanita ini didorong oleh asistennya.
"Aku didorong dan aku telungkup di dasarnya speedboat, kata asistenku, 'Dokter jangan bergerak!", ia menceritakan kembali.
Saat itu yang terdengar hanya suara orang-orang berdoa, lanjutnya. Anastasia sempat menoleh dan ia menemukan gulungan ombak sebesar rumah. Kejadian berlangsung cukup cepat. Setelah situasi mulai stabil, kedua mata Anastasia terbelalak.
"Aku melihat keindahan papua di saat itu. Gulungan ombak besar tadi yang membuat pulau terlihat sangat indah, bahkan aku bisa melihat ombak besar itu berjalan menjauhi kapalku. Itu salah satu pengalaman yang menakutkan banget; tetapi endingnya indah," ucapnya dengan tatapan bahagia.
Peluk pasien HIV/AIDS sampai pasien kelaparan
Tepat lima tahun lalu dokter cantik ini kembali memberikan pelayanan kesehatan di wilayah tengah Papua, lebih tepatnya di RSUD Paniai, Madi.
Sayangnya, kedatangan Anastasia untuk kedua kalinya tidak lama, karena statusnya di rumah sakit tersebut hanya menggantikan rekan dokter lainnya. Ditambah kala itu wanita bersuara lembut ini tidak dapat meninggalkan anak dan keluarga tercinta di Jakarta.
Meski waktunya sangat pendek, tapi ia mendapatkan banyak pengalaman yang masih membekas di hati dan pikiran.
"Aku hampir setiap hari menangis dan aku kurus kering karena kurang makan. Tapi hatiku bahagia luar biasa. Itu totalitas yang kurasakan paling indah dalam profesiku sebagai dokter," ujarnya.
Setiap hari pasien yang datang kepadanya terlihat seperti membutuhkan pelukan juga tatapan mata penuh harap. "Mereka sangat butuh ditemani, mereka sangat suka peluk aku dan aku juga suka peluk mereka," tambah Anastasia.
Anastasia sering menangani pasien miskin dan kelaparan. Berbeda dengan pasien miskin di Jakarta, ia melanjutkan, di sini mereka makan sampai dua hari sekali.
"Tindakan ekstraksi (kondisi) pasien harus sehat, harus sudah makan. Kalau enggak pingsan dong bahkan meninggal kan. Jadi aku pasti tanya, 'Kapan terakhir makan', you tahu dia mengatakan apa? "Oh sudah dokter saya sudah makan saya kenyang," ceritanya dengan logat orang Papua.
"Kapan kamu terakhir makan? Lalu you tahu dia jawab, 'Oh macam waktu saya ibadah kemarin, ibadah di gereja toh, kita orang hari minggu gereja toh', you tahu itu saya tanya hari Selasa," ucapnya sedih.
Anastasia pun menjelaskan kalau itu bukan cerita omong kosong. Setiap Anastasia ingin melakukan tindakan klinis ia selalu memberikan biskuit sekitar tiga hingga lima keping agar perut mereka tak kosong. "Setiap saya memberi regal, saya lihat dulu kesehatan mereka. Selain untuk doping diri sendiri, saya juga beri untuk mereka," lanjutnya.
Bukan hanya masyarakat miskin dan lapar yang menjadi pasien Anastasia, tapi juga pasien HIV/AIDS. Wanita nan tangguh ini mengatakan pasien ODHA (orang dengan HIV/AIDS) bak fenomena gunung es, hanya sedikit yang kelihatan, tapi fakta di lapangan sangat amat banyak.
"Umumnya pasien HIV/AIDS yang saya tangani berasal dari usia kecil. Biasanya dari suami menularkan ke isteri, kemudian menularkan ke siapapun. Itu mengerikan sekali, dan merupakan luka di Papua," ujarnya.
Namun, hebatnya RSUD Paniai ini merupakan institusi kesehatan yang sangat disiplin dalam menjalankan prinsip-prinsip pengobatan. Contohnya, lanjut Anastasia, pemberian antibiotik tidak asal diberikan kepada pasien tanpa dilakukan pemeriksaan lanjut.
"Kami itu tidak boleh memberikan antibiotik. Sakit dikit antibiotik, itu tidak boleh. Bahkan harusnya dites dulu untuk melihat bakteri apa yang sedang berkembang," ungkap dokter cantik ini.
Hal ini justru membuat pasien di Papua sangat mudah diobati, karena mereka belum resisten. "Bahkan pasien AIDS sekalipun aku lakukan operasi itu bisa sembuh dengan bagus banget," ucapnya.
Alergi kehamilan sendiri
Banyak sekali cerita tragis yang diungkapkannya kepada Health-Liputan6.com, bukan hanya tentang pekerjaannya melainkan kehidupan pribadi yang tak segan-segan beberkan. Salah satunya tentang nyawanya yang hampir tiada.
"Aku dulu hampir enggak ada, saat itu mami hamil aku tiga bulan. Tiba-tiba bleeding di tengah kondisi obat-obatan dan alat terbatas di Papua," kenangnya.
Syukurnya, nyawa Anastasia dapat tertolong. Namun, sang ibu harus disuntik setiap hari agar kondisi tubuhnya tak menurun. Hal serupa juga sempat dirasakan wanita berkulit putih ini pada kehamilan anak pertamanya.
"Aku hamil dua kali. Tapi pada kehamilan pertama, aku masih bekerja setiap hari, dan suami lagi sekolah ambil master. Aku bantu dia juga edit tesisnya. Aku lakukan seusai kerja di rumah sakit, dan selesai jam 1 dini hari," ujar Irin, panggilan Anastasia.
Di hari ketujuh, ia melanjutkan, muncul bercak darah atau flek saat terbangun pagi hari. "Aku dokter tapi aku juga bodoh. Aku tidak punya pengalaman ini, jadi enggak ngerti kalau kerja keras seperti yang aku lakukan ini juga bisa buat pendarahan," sesalnya.
Persis pada 30 April 2003, Anastasia terpaksa melakukan kuret. Sedihnya, janin yang ada di rahimnya ternyata sudah berusia delapan minggu.
Tiga bulan kemudian wanita ini diberikan kepercayaan lagi oleh Tuhan dan diberkati seorang putra bernama R.Bg. Juan Marchelle Angelo Dragon Devondha Lovyaryllo. Namun, kehamilan kedua ini tidak berjalan dengan mulus. Anastasia harus mengalami kondisi yang sakit luar biasa, "Kata dokter aku mengalami sindrom alergi terhadap kehamilan sendiri."
Kondisi kandungan dokter gigi cantik ini mulai tidak stabil, bermula pada hari ketiga kehamilannya. "Aku habis ganti tirai kamar warnanya itu sebetulnya kuning gading, tapi pas aku buka mata rasanya seperti pusing dan mual, enggak karuan," ceritanya sambil mengerutkan dahi.
Sejak hari itu Anastasia benar-benar tidak mampu melihat benda atau apapun yang berwarna kuning. Bahkan ia tidak bisa melihat sinar, sekalipun sinar matahari. Setiap matanya tak sengaja menangkap warna tersebut mendadak ia akan muntah-muntah dan tubuhnya semakin lemas.
"Selama mengandung saya selalu di kamar gelap. Bahkan jendela ditutup pakai tiga bedcover, aku infus terus dan tidak bisa makan. Tapi kalau aku dengar musik klasik itu terasa seperti doping," ceritanya.
Anastasia sama sekali tidak bisa menelan nasi saat hamil. Selama mengandung, makanan dan minuman yang bisa diterima tubuhnya hanya susu kemasan rasa stroberi dan pisang. Meski begitu ia mengaku tak pernah merasa lapar sama sekali.
"Aku tidak lapar, tapi rasanya seperti sakit keras, seperti malaria tertiana jadi demam dan kedinginan. Kata dokte aku mengalami sindrom alergi terhadap kehamilan aku sendiri, jadi aku seperti orang cancer," katanya.
Malaise, sebut Anastasia. Individu yang mengalami hal ini akan merasakan lemah luar biasa, hopeless luar biasa dan selalu keluar air mata. Namun, perjuangan wanita ini membuahkan hasil yang tak sia-sia. Devondha tumbuh menjadi anak pintar dan luar biasa melindungi ibunya.
"Anakku nih tidak pernah meminta, tidak pernah menuntut sama sekali. Jadi kalau aku beli apapun dia selalu bilang sudah ada mami. Jadi kalau dia sampai bilang, "Mami aku minta ini", wah itu rasanya seperti dunia saja akanku ambilkan buat dia," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
Lengkap sudah hidup Anastasia, di usia nyaris 46 tahun ini ia sudah memiliki kehidupan yang luar biasa sempurna. Ia sudah mengantongi karier yang melejit, anak yang cerdas, dan keluarga yang mencintainya. Semua itu berhasil diraih olehnya karena wanita cantik ini memiliki konsep hidup yang baik.
"Aku mengajarkan Devondha dengan konsep pribadi yaitu cinta dan kasih,' ucapnya.
Menurutnya setiap agama pasti mengajarkan semua tentang kebaikan, tapi kembali lagi kepada individunya. "Orang boleh memilih, dia tinggal memilah yang mana. Pro kebaikan atau anti kebaikan dan satu lagi apakah orang itu melakukan hal dengan sadar atau tidak sadar, ketika ia sadar memilih yang salah maka dia harus tanggung konsekuensinya."
Setiap manusia di dunia ini tentu memiliki tujuan hidup dan ingin menikmati hidup di hari tua, begitupun dengan dokter cantik ini. "Aku hanya ingin menikmati hari-hariku nanti di sebuah rumah yang terletak di tepi danau, pohon raksasa, gemericik air, dingin, yang penuh cinta, cinta, dan cinta," ujar dokter cantik ini sambil tersenyum kecil.