Liputan6.com, Jakarta Delapan tahun penantianku dengan istri, Fitria, untuk mendapatkan seorang anak. Itu bukan waktu yang sebentar buatku menunggu, apalagi setiap bertemu saudara atau teman selalu ditanya, "Kok belum ada buntutnya?".
Bagiku dan istri, tiga tahun pertama pernikahan merupakan cobaan berat. Namun aku berusaha untuk berpikir positif bawa pertanyaan orang-orang itu adalah doa buat kami. Hingga pada tahun kelima istriku belum juga menunjukkan tanda-tanda kehamilan.Â
Advertisement
Aku pun mulai santai mengarungi bahtera rumah tangga bersama istri. Aku sudah ikhlas jika memang tidak diberi kepercayaan oleh Allah SWT untuk menjaga amanahnya.
Namun tak disangka ketika pernikahan kami memasuki tahun ketujuh, istriku positif hamil. Bahagia, senang, pada saat itu yang aku rasakan. Sejak itulah dia memutuskan untuk berhenti kerja. Fitria fokus dengan kandungannya.Â
Baca Juga
Akhirnya jadi bapak
Tak beda dengan perempuan lain, Fitria pun merawat kandungannya dengan baik. Namun jelang persalinan dia tak juga merasakan kontraksi. Tepat pada 27 Februari 2014, Ziva Aleeza Gunawan pun lahir dengan cara caesar.
Senang, haru, bahagia, kembali aku rasakan saat mendengar anakku menangis. Akhirnya aku jadi bapak. Aku sampai menangis tak percaya bayi mungil yang kami nantikan akhirnya berada di tengah keluarga kami.Â
Kebahagiaan itu bukan saja milikku, tapi juga kedua orangtuaku. Karena ini adalah cucu pertama buat mereka dari aku yang merupakan anak tunggal.
Rasa sayang mereka begitu besar kepada Ziva. Sehingga semua keinginannya selalu dituruti.Â
Â
Takut menggendong
Takut menggendong
Sepulangnya Fitria dari rumah sakit bersalin, aku masih belum berani menggendong Ziva. Dua minggu lamanya aku hanya bisa menatap dan mengajaknya bercanda di atas tempat tidur atau saat berada di gendongan orang lain.Â
Rasa penasaran untuk bisa merasakan tubuhnya dalam dekapanku pun menyeruak. Akhirnya aku beranikan menggendongnya.
Aku merasa ngeri. Khawatir terjadi sesuatu pada tubuh mungilnya yang masih rapuh. Untuk itu aku tak lama-lama menggendongnya. Setelah sudah bisa digendong dengan posisi berdiri barulah aku berani menggendongnya lama.
Cemburu
Kehadiran Ziva memang membawa warna buat keluarga kami. Apalagi untuk kedua orangtuaku yang sejak lama mendambakan kehadiran cucu. Istriku pun memutuskan tak lagi bekerja, dia ingin fokus merawat buah hati kami.
Lucunya, kedua orangtuaku tampak begitu menikmati kehadiran Ziva. Bahkan bisa dibilang kedua mereka seperti menguasai Ziva. Kami sebagai orangtuanya pun mengalah. Toh ini untuk kebahagiaan kita semua, begitu aku pikir.
Meski begitu, Ziva sangat dekat dengan ibunya. Dia selalu mencari jika tak melihat ibunya ada di sisinya. Itu sempat membuat aku cemburu kepada Fitria. Sebagai ayah, aku pun ingin Ziva membutuhkan kehadiranku.Â
Tapi setelah berpikir dengan jernih, aku pun pasrah asalkan anakku bahagia. Bagiku ini juga ada positifnya, yaitu kalau kerja aku tak ditangisinya. Bahkan jika harus ke luar kota selama dua sampai tiga hari, dia tak mencari.
Namun kalau sudah bertemu kami tak henti-hentinya bercanda dan seru-seruan di kasur. Bagiku itu rasa kangen yang tak terungkap dari Ziva.
Setiap ada waktu luang, kami kerap menghabiskan waktu bersama. Walau Ziva anak perempuan, aku mengajarinya untuk tidak manja.
Berbagai kegiatan cowok pun aku ajari meski saat ini dia baru berusia dua tahun delapan bulan. Aku ingin membuatnya kuat menghadapi kehidupan nanti.