Liputan6.com, Jakarta Siapa wanita yang tak bahagia ketika mengetahui bahwa dirinya hamil? Hal ini pula yang dirasakan oleh seorang ibu bernama Tania (bukan nama sebenarnya) ketika ia melakukan USG.
Namun perasaan bahagia itu sirna ketika dokter mendiagnosis dirinya hamil di luar kandungan (kehamilan ektopik), ia pun terpaksa kehilangan bayinya.
“Rasanya kayak mimpi,” ujar ibu dua anak ini saat diwawancara oleh Health-Liputan6.com, ditulis Selasa (25/11/2016).
Advertisement
Kehamilan ektopik biasanya terjadi karena sel telur yang telah dibuahi tidak menempel pada dinding rahim, tetapi menempel pada organ lain seperti rongga perut, tuba falopi, atau leher rahim. Namun dalam kasus Tania, USG menunjukkan, lokasi janinya berada di dalam rahim, hanya saja ada kebocoran disana yang menyebabkan darahnya menyebar ke organ-organ lain.
“Dokter bilang apa yang saya alami ini jarang sekali terjadi, satu di antara beberapa. Dan menurut mereka, kalau kehamilan di luar kandungan tidak seperti ini karena janin saya ada di dalam rahim. Jadi yang menyebabkan kebocoran di rahim tidak diketahui,” ujar wanita berusia 35 tahun tersebut.
Sempat dikira angin duduk dan gangguan lambung (mag)
Awalnya, Tania tak pernah merasakan gejala apapun pada tubuhnya. Namun pada Jumat, tepatnya 24 April 2015, ia mengalami kram yang sangat menyakitkan sepulang kerja, yang membuat dirinya sulit bernapas dan bergerak.
“Tiba-tiba pukul 12 malam perut saya kram sampai enggak bisa napas. Satu perut ini rasanya keras-kaku, jadi kalau dipegang sakit, bergerak juga sakit. Saya kira angin duduk,” katanya.
Ibunda Tania dan suaminya hanya menyuruhnya untuk minum air hangat dan membaluri perutnya dengan balsem hingga minyak tanah. Kramnya saat itu bahkan muncul tiga hingga empat kali.
Karena tidak kuat, sekitar pukul 4 pagi, Tania terpaksa dilarikan ke rumah sakit terdekat di daerah Depok dan masuk UGD karena kondisinya yang lemah.
Ketika itu, dokter penyakit dalam belum ada ditempat, yang ada hanya dokter jaga. Setelah dokter jaga melakukan beberapa pemeriksaan, ia lalu menghubungi dokter penyakit dalam melalui telepon untuk menggambarkan kondisi Tania saat itu. Diagnosis awal dokter penyakit dalam adalah sakit maag.
Namun karena ada beberapa obat yang keras dan pada saat itu Tania sedang mengalami telat menstruasi, ia pun dirujuk untuk melakukan USG pada hari Senin. Saat itu asam lambungnya terlalu tinggi, sehingga harus diturunkan terlebih dahulu dengan menggunakan obat sebelum melakukan USG.
Berhubung kondisinya lemah, Tania memutuskan untuk menjalani rawat inap di rumah sakit. Kala itu, ia berkali-kali merasakan kram diperutnya. Ia pun sempat pingsan ketika akan dipapah ke kamar mandi untuk buang air kecil, karena ia tidak kunjung buang air kecil, walaupun sudah minum air putih seperti biasa.
“Ada lima orang suster yang memapah saya buat ke kamar mandi, tapi tiba-tiba ketika saya baru saja melangkahkan kaki pertama kali, kramnya muncul lagi. Akhirnya saya pingsan dan jatuh ke lantai,” tuturnya.
Tania pun bertanya-tanya pada suaminya. Dia merasa ada sakitnya ini berbeda dengan riwayat penyakit mag yang ia idap sejak remaja. "Kram perutnya bisa muncul hampir 30 kali dalam sehari. Rasanya kayak pohon kena petir. Benar-benar enggak ada waktu buat berpikir, sakit kramnya tiba-tiba. Suami dan ibu saya waktu itu nangis melihat keadaan saya seperti itu."
Berhubung tes USG masih belum bisa dilakukan akibat asam lambungnya masih terlalu tinggi, dan Tania pun belum bisa bergerak, maka ia diminta melakukan cek darah untuk mengukur tingkat hemoglobin (Hb) dalam tubuhnya.
“Jadi cek darah saja hari Minggu itu. Pas pagi Hb masih bagus sekitar 11 atau 12, tapi pas siang ke sore Hb saya turun drastis jadi 5,5,” tuturnya.
Dokter pun memintanya untuk melakukan tranfsusi darah, tetapi Tania dan suami sempat menolak karena penyebab kram yang dideritanya masih belum penyebabnya.
Operasi kebocoran rahim
Dokter curiga bahwa Tania sedang hamil. Meski begitu, dalam USG terlihat ada banyak cairan di perutnya. Ia pun dirujuk ke bagian radiologi.
"Dia (kakak iparnya) minta bicara ke dokter saya, dia bilang kalau saya harus ke meja operasi sekarang. Tapi dokter saya yang ini enggak tahu dan memaksa untuk menjalani radiologi dulu. Mungkin dia belum pernah dapat pasien seperti saya,” ujarnya.
Setelah melalui pemeriksaan, hasil radiologi keluar. Ternyata cairan yang terlihat kurang jelas di USG tersebut adalah darah yang sudah menyebar kemana-mana dalam tubuh, sehingga dokter meminta untuk segera operasi.
“Ternyata darah sudah kemana-kemana, sudah mau masuk paru-paru , hati, dan lain-lain,” tutur Tania.
Tania dan suaminya sempat meminta rujukan untuk second opinion di rumah sakit lain. Namun menurut dokter harus ada surat yang ditandatanginya untuk pertanggung jawaban dokter bila terjadi apa-apa dengan dirinya. Tapi mereka mengurungkan niatnya. Tania akhirnya bersedia di operasi.
Ketika operasi selesai, dokter menemukan bahwa rahimnya ternyata bocor tetapi penyebabnya tidak diketahui hingga saat ini.
“Jadi kesimpulan dari dokter kandungan, kram yang saya rasakan itu bukan maag sebenarnya, tapi itu awal kebocoran-kebocorannya,” tuturnya.
Sebulan setelah operasi, Tania yang mulai pulih memeriksakan kondisinya di salah satu rumah sakit besar lainnya di Jakarta. Di sana, dokter mengatakan bahwa ia mengalami kehamilan di luar kandungan walau kasusnya lumayan berbeda.
“Tapi sampai sekarang jujur saja, kesimpulan medis tidak memuaskan. Kalau saya browse di internet, tidak ada yang kondisinya mirip seperti saya,” tuturnya.
Tak tahu janin diangkat
Setelah menjalani operasi, ternyata dirinya sempat tidak mengetahui bahwa janinnya yang masih berumur enam minggu itu sudah diangkat oleh dokter.
“Suami saat itu harus memilih untuk mengangkat janin saya, karena kalau tidak, saya yang akan lewat (meninggal). Jadi suami terpaksa memilih,” ujarnya.
Setelah dirinya tersadar dari efek bius, suaminya tidak langsung memberitahu hal tersebut karena kondisi Tania masih belum kuat. Hingga keesokan harinya, barulah ia diberitahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Pas jam-jam saya sadar, saya sempat nanya ke suami, ‘Pa.. ini gimana anaknya, saya kan minum obat-obatan terus, kalau dia cacat gimana?’, tapi saat itu suami belum memberi tahu. Baru besok paginya dia baru ngasih lihat foto (janin) yang sudah diangkat. Saya sedih sekali, tapi mau gimana lagi, karena kalau tidak dilakukan itu, kata suami malah saya yang meninggal,” ujarnya sambil meneteskan air mata.
Tania menuturkan, bila mengingat janin yang ada di dalam kandungannya, dia selalu menangis. Apalagi ia dan suaminya sempat mendengar detak jantung sang buah hati.
“Saya masih sering menangis jika ingat janin yang pernah ada dirahim saya. Saat USG saya sempat mendengar detak jantungnya, bahkan dokter saat itu sempat membesarkan volume USG hingga saya mendengar detak jantungnya dengan jelas sekali. Jadi mungkin karena saya seperti sudah melekat dengan dia,”tuturnya.
Satu hal yang Tania petik dari pengalamannya tersebut, sekarang ia menjadi sangat berhati-hati dalam berucap, karena menurutnya apa yang ia alami ini adalah teguran dari Tuhan akibat dulu ia terkesan tidak siap menambah anak lagi.
“Jadi menurut saya ini teguran, karena Tuhan bisa memberi (anak) dan mengambilya lagi. Jadi perempuan tidak boleh asal ngomong, harus hati-hati berbicara,”pungkasnya.