Sukses

10 Hisapan Rokok Elektrik Sudah Bisa Rusak Jantung

Temuan penelitian oleh Karolinska Institutet di Swedia, menunjukkan bahwa rokok elektrik meningkatkan risiko penyakit jantung Anda

Liputan6.com, Jakarta Rokok elektrik seringkali disebut-sebut lebih aman dari rokok tembakau. Hal ini juga didorong oleh beberapa dokter yang percaya, mereka jauh lebih aman daripada rokok tembakau. Namun temuan oleh Karolinska Institutet di Stockholm, Swedia, menunjukkan sebaliknya.

Para ilmuwan terkenal di Karolisnka Institutet telah menemukan, hanya sepuluh hisapan dari rokok elektrik, sudah cukup untuk memicu perubahan fisiologis, dimana menurut para ahli di sana, hal ini “bisa memulai munculnya penyakit jantung”.

Studi ini juga menemukan, sama seperti rokok batangan, rokok elekrik juga meningkatkan tekanan darah dan mempromosikan pengerasan arteri, seperti yang dilansir dari Dailymail, Senin (5/12/2016).

Dalam studi mereka yang diterbitkan dalam jurnal Atherosclerosis, para peneliti Swedia tersebut merekrut 16 orang yang hanya merokok sesekali untuk menjadi peserta penelitian. Para peneliti lalu meminta mereka masing-masing untuk menghisap rokok elektrik sebanyak sepuluh kali hisapan.

“Dalam satu jam pertama, ada peningkatan yang pesat dalam kadar sel yang menunjukkan kerusakan pada lapisan di dalam pembuluh darah, yang disebut sel progenitor endotel atau EPC. Peningkatan tersebut sama besarnya dengan merokok satu batang rokok tradisional,” ujar para peneliti.

Paparan yang sangat singkat pada uap rokok elektrik tersebut, menunjukkan dampak pada integritas pembuluh darah yang mengarah ke aterosklerosis di masa depan, atau lebih dikenal sebagai pengerasan arteri. Bahkan tingkat EPC tersebut baru bisa turun menjadi normal 24 jam kemudian.

“Hal ini sangat mengejutkan saya, bahwa uap yang hanya sedikit dari rokok elektrik, bisa memulai munculnya penyakit jantung. Hal ini mengkhawatirkan, karena satu rokok elektrik saja dapat memicu respon tersebut,” ujar spesialis jantung dan juru bicara untuk European Society of Cardiology, Profesor Joep Perk.

Jadi, akankah penggunaaan jangka panjang rokok elektrik benar-benar menyebabkan penyakit jantung? Hal ini masih harus dilihat. Namun tim peneliti Swedia tersebut mencatat, rata-rata pengguna rokok elektrik menghisap uapnya sebanyak 230 kali dalam sehari - meningkatkan prospek, bahwa penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan jantung yang serius.

2 dari 2 halaman

Didukung penelitian lain

Tapi, tidak hanya studi ini saja yang menunjukkan bahaya rokok elektrik. Pada bulan Agustus, tim peneliti dari University of Athens Medical School di Athena, Yunani, menyatakan, menghisap rokok elektrik selama setengah jam, menyebabkan peningkatan kekakuan yang sama di aorta (arteri utama)--sama seperti saat menghisap rokok tembakau. Kedua aktivitas ini sama-sama meningkatkan tekanan darah.

“Rokok elektrik kurang berbahaya (daripada rokok tembakau), tetapi bukan berarti mereka benar-benar tidak berbahaya. Saya tidak menyarakan rokok elektrik sebagai suatu metode berhenti dari merokok tembakau,” ujar pemimpin studi, Professor Charalambos Vlachopulos.

Namun bukan hanya kedua studi tersebut yang mengungkapkan bahaya dari rokok elektrik. Bulan lalu, sebuah studi di Amerika menemukan, remaja yang menggunakan rokok elektrik, 71 persen lebih mungkin untuk menderita bronkitis.

Bahkan pada hari Jumat, studi lain yang diterbitkan dalam jurnal Lancet Respiratory Medicine, menemukan, pengguna rokok elektrik 28 persen lebih kecil kemungkinannya untuk benar-benar berhenti merokok tembakau, dibandingkan dengan mereka yang tidak vaping. Temuan ini karena sebagian besar pengguna rokok elektrik adalah mereka yang mencoba berhenti untuk tidak merokok tembakau.

“Kami semua setuju bahwa rokok elektrik secara signifikan kurang berbahaya daripada rokok tembakau. Semua bukti menunjukan bahwa risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh rokok elektrik relatif kecil, tapi kami harus mempelajari efek jangka panjangnya,” ditulis oleh 13 badan kesehatan yang dipimpin oleh Public Health England, termasuk Cancer Reasearch UK, Royal College of Physicians dan Faculty of Public Health.