Liputan6.com, Jakarta "Keluar dari sini! Pulang... pulang... pulang...!," teriak seorang wanita berusia sekitar 27 tahunan suatu malam di kediamannya yang membuat satu rumah bergidik.
Wanita muda itu kemudian memegang besi seukuran jari telunjuk dan berupaya menyerang siapa pun selain keluarganya dengan menggunakan instrumen tersebut.
Baca Juga
Seorang perawat dari Puskesmas Botomoito, Kabupaten Boalemo, Gorontalo, Tiska Kewu bersama dokter serta kepala puskesmas menjadi korban upaya penyerangan tersebut.
Advertisement
Keberadaan Tiska dan pihak lainnya di kediaman wanita itu pada tahun 2013 lalu bukanlah tanpa alasan. Pada saat itu, mereka sedang melakukan sebuah program kesehatan jiwa dan misi utamanya adalah untuk mendata, mencari serta merawat orang-orang yang terbukti alami penyakit kejiwaan berskala fatal.Â
Wanita pengusir yang rumahnya didatangi oleh mereka adalah penderita penyakit skizofrenia kronis. Jadi, keberadaan Tiska dan pihak pelayanan kesehatan dari Puskesmas Botomoito lainnya itu didasari satu alasan yakni, untuk memberikannya pertolongan sekaligus perawatan sehingga kemungkinannya menyakiti orang lain menurun.
Namun sayangnya kedatangan mereka disambut dengan kekerasan oleh si wanita yang bergegas mengusir Tiska beserta rekan-rekannya keluar dari rumah dengan mengandalkan besi itu.
"Ini adalah kali pertama saya ke rumah orang dengan gangguan jiwa. Memang takut, tapi kalau saya lari tidak tertangani pasien ini," cerita Tiska kepada Health-Liputan6.com saat dihubungi, ditulis Jumat (16/12/2016).
Tiska lanjut menceritakan, dirinya pada saat itu baru saja ditunjuk oleh kepala Puskesmas sebagai perawat khusus bidang kesehatan jiwa. Pada saat yang bersamaan, program kesehatan jiwa Puskesmas Botumoito itu juga untuk pertama kalinya dilancarkan.
Tanggung jawab berskala besar
Posisi Tiska sebagai perawat khusus untuk pasien dengan masalah kejiwaan pasalnya membuat dirinya harus terlibat dalam misi-misi pelacakan serta pemberian bantuan medis pada pasien dengan penyakit tersebut dan juga membuatnya bertanggung jawab penuh untuk pelancaran program kesehatan jiwa Puskesmas itu.
Secara mendetil, Tiska diminta untuk melacak orang dengan gangguan jiwa di sembilan desa yang masuk dalam wilayah cakupan Puskesmas Botumoito. Baik yang sudah diperiksakan di Puskesmas maupun belum, semuanya dilacak untuk dicatat. Pasien yang terdata kemudian akan diberikan perawatan
Wanita muda yang diceritakan di awal tadi merupakan pasien pertama yang Tiska dan pihak Puskesmas Botumoito lainnya kunjungi. Tidak bisa dipungkiri bahwa pengalaman tersebut begitu menantang lantaran berisiko dan bisa mengancam keselamatan jiwa jika tidak ditangani sebaik mungkin.
Mereka bahkan harus memberikan wanita tersebut obat penenang dengan paksa lantaran perilakunya terlalu ketar-ketir dan sudah terbukti rentan akan aksi kekerasan.
Namun hal tersebut tidak membuat Tiska dan lainnya menyerah untuk membantu mereka yang tergolong bermasalah kejiwaannya; misi mereka pun berlanjut dan belasan rumah tempat di mana pasien lain berada pun juga telah mereka datangi beberapa waktu setelah melakukan hal tersebut untuk pertama kalinya.
"Dalam mendata orang dengan gangguan jiwa ini kami dapat banyak bantuan. Mulai dari kepala desa hingga aparat desa. Kini tiga tahun berjalan telah terkumpul 15 pasien dengan gangguan jiwa. Ada yang depresi, skizofrenia," terangnya.
Setelah melakukan penelusuran, hati Tiska agak sedikit lega. Di wilayah kerjanya, tidak ada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dipasung. "Alhamdulillah tidak ada yang dipasung atau diungsikan kemana. Memang ada yang dikurung dalam rumah," katanya.
Lima orang dengan gangguan jiwa masuk dalam kategori berat. Sisanya agak berat.
Advertisement
Pentingnya dukungan moral keluarga pasien dengan gangguan jiwa
Yakinkan keluarga orang dengan gangguan jiwa
Saat mendata ODGJ, tak semuanya mulus. Ada juga beberapa keluarga yang menutup diri. Mereka khawatir pengobatan yang diberikan membuat anggota keluarganya makin 'gila'.
"Kami sudah memberikan penyuluhan sebenarnya tapi memang masih ada yang tidak mau," tutur wanita kelahiran 7 Mei 1988 ini.
Tiska tidak putus asa, ia tetap berjuang memberikan sosialisasi pentingnya pengobatan kepada anggota orang dengan gangguan jiwa dari keluarga yang menolak. Bila semakin lama tidak diobati, kondisinya bisa makin parah.
"Sampai ada lima kali yang kami kunjungi beri sosialisasi. Saya juga dibantu kepala desa, aparat desa, serta masyarakat sekitar dalam meminta keluarga yang menolak mau anggota keluarganya mendapat pengobatan," katanya.
Kini, di 2016 terdata ada 15 orang dengan gangguan jiwa yang mendapat pengobatan.
Ajak orang dengan gangguan jiwa bersosialisasi
Setelah orang dengan gangguan jiwa yang ada di wilayah Puskesmas Botumoito terdata, Tiska rutin mengunjungi mereka. Paling tidak setiap dua minggu sekali Tiska mengunjungi ke rumah mereka untuk mengontrol kondisi mereka.
Beberapa diantaranya juga ada yang mendapat suntikan satu bulan sekali. Lalu, ada juga terapi obat.
Di 2015, Tiska berpikir untuk mengajak orang dengan gangguan jiwa ini bersosialisasi. Caranya dengan sebulan sekali mereka berkumpul bersama dalam program dinamika kelompok yang dilaksankan di puskesmas.
"Mereka tidak hanya diam di rumah saja atau hanya dengan keluarganya. Tapi bisa bersosialisasi dengan orang gangguan jiwa yang lain serta keluarga yang lain," kata Tiska.
Dengan program ini, Tiska berharap, mereka bisa membuka diri serta percaya diri.
"Berinteraksi dengan orang lain itu kan bisa meningkatkan percaya diri seseorang," katanya.
Rupanya, masyarakat yang kondisinya jiwanya terganggu merasa senang dengan program ini. Bahkan, bila program yang dilasanakan setiap tanggal 9 ini jatuh di hari Minggu, minta dimajukan atau dimundurkan agar tetap ada.
Hasil terlihat
Setahun berlalu, program ini memperlihatkan hasil. Tiska bercerita ada salah satu pria yang alami depresi karena ditinggal menikah. Dulu ia selalu menangis, tapi kini tidak lagi.
"Dia ini dulunya menarik diri, tidak mau bicara dengan orang lain. Saya tanya dia menangis walau pertanyaannya tidak bikin nangis," kata Tiska.
"Namun setelah mengikuti program ini, dia tidak menangis. Dia lebih bahagia," tuturnya.
Cerita menarik juga terjadi pada wanita 48 tahun yang alami skizofrenia. Dulu ia senang marah-marah. Ia memarahi anggota keluarga tanpa alasan jelas. Namun sejak terapi obat dan suntik, serta ikut program dinamika kelompok kondisinya membaik.
"Kini dia sudah berkurang marah-marah tak jelasnya," kata wanita yang meraih penghargaan Tenaga Kesehatan Teladan Tingkat Puskesmas dari Kementerian Kesehatan pada Agustus 2016.
Lalu bagaimana dengan wanita yang alami skizofrenia tadi? Tiska menceritakan terapi suntik dan oral membuat kondisi wanita muda tersebut kini sembuh.
"Sekarang dia sudah sembuh. Kini ia sudah membantu orangtuanya di kebun juga, tidak menarik diri lagi," kata Tiska bahagia.
Namun wanita muda tersebut tetap mendapat terapi obat dan suntikan dengan dosis yang lebih rendah. "Walau sudah sembuh, tapi pengobatan pada pasien dengan gangguan jiwa tidak berhenti. Tetap diberikan namun dikurangi dosisnya," tutupnya.
Advertisement