Liputan6.com, Jakarta Aborsi atau tindakan pengguguran kandungan sebelum kehamilan mencapai usia 20 minggu, sudah sekian lama menjadi topik yang hangat diperdebatkan di kalangan masyarakat seantero dunia.
Praktis medis ini pasalnya lebih dianggap sebagai aksi negatif dibandingkan positif lantaran berkaitan kuat atau menjadi penyebab utama kematian janin dalam kandungan wanita hamil.
Metode ini kerap dijadikan solusi oleh para remaja yang mengalami kehamilan dini, wanita yang merasa belum siap akan peran menjadi seorang ibu, korban pemerkosaan dan mereka yang merasa belum siap memiliki buah hati lantaran kondisi ekonomi tergolong buruk.
Namun, sebetulnya ada beberapa kasus di mana tindakan tersebut dianggap penting dan justru diharuskan yaitu, ketika kondisi kesehatan sang ibu tak memungkinkan untuknya melanjutkan kehamilan.
Kendati begitu, kebanyakan orang tetap memandang aksi ini tidak manusiawi. Tindakan yang dianggap tidak manusiawi ini secara umum diketahui berdampak negatif pada mental sang ibu yang mengandungnya.
Kebanyakan orang berpendapat bahwa ketika seorang wanita yang sedang mengandung secara paksa atau tidak harus menggugurkan bayinya, umumnya kesehatan mental mereka akan terganggu.
Ini karena kebanyakan orang berpikir, ketika seorang wanita mengandung bayi, ada hubungan tertentu yang terbangun dalam dirinya bersama sang bayi dan di situlah timbul rasa cinta dan kasih sayang.
Meski tak menginginkannya, sang ibu diyakini tetap akan merasa kehilangan saat digugurkan secara sengaja melalui teknik aborsi. Mereka juga diyakini sangat rentan akan penyakit mental seperti depresi kemudian juga menjadi trauma pascakehilangan bayinya.
Fakta terkuak
Namun, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Seperti dimuat laman New York Times, Senin (19/12/2016), studi yang dilakukan di Amerika Serikat selama lima tahun dan melibatkan setidaknya 1000 peserta wanita dengan pengalaman aborsi, menunjukan bahwa tindakan tersebut ternyata tidak menyebabkan mereka larut dalam trauma emosional atau pun mengganggu kestabilan psikologisnya.
Kendati pun beberapa menunjukan gejala depresi, hal itu terbukti hanya bersifat sementara yaitu, sekitar 6 bulan saja. Setelah itu, mereka terlihat normal, seolah tidak keberatan atau mudah move on dari pengalaman yang harusnya tidak pernah luput dari memori siapa pun itu.
“Temuan ini begitu menarik, saya betul-betul terkejut mengetahui fakta bahwa mereka yang terlihat tidak terima atau tersiksa usai prosedur ini tingkat stres atau depresinya memuncak dan berlangsung selama enam bulan, mungkin paling mentok satu tahun,” Ungkap Katie Watson, ilmuwan dari Fakultas Kedokteran di Northwestern University.
Penelitian yang dipublikasikan dalam JAMA Psychiatry itu juga mengungkap fakta bahwa gejala terkait depresi atau gangguan mental lainnya justru lebih terlihat pada mereka yang menginginkan aborsi namun tidak diperbolehkan melakukannya.
“Tapi yang terpenting dari temuan ini adalah fakta bahwa manusia, khususnya dalam kasus ini wanita, sebetulnya memiliki ketahanan mental yang cukup tinggi dalam menghadapi masalah dan sangat bisa melaluinya tanpa harus alami gangguan mental. Tapi memang tidak semua wanita menyadari kekuatan yang mereka miliki itu,” ujarnya.
Advertisement