Sukses

Menilik Pola Pikir Kaum Muda yang Mudah Terhasut Teroris

Mengapa kaum muda saat ini seperti mudah terprovokasi dan terhasut teroris? apakah nilai agama begitu minimnya?

Liputan6.com, Jakarta Penggerebekan teroris di Tangerang Selatan pagi tadi, tak hanya mengejutkan banyak pihak, tapi juga menimbulkan keresahan di masyarakat. Namun apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kaum muda saat ini seperti mudah terprovokasi dan terhasut teroris? Apakah nilai agama begitu minimnya?

Apabila kita ingat, pada Agustus 2014, ISIS merilis sebuah video yang menunjukkan seorang jurnalis Amerika, James Foley berlutut di gurun tandus. Dia memakai jumpsuit oranye terang. Di belakangnya ada pasukan ISIS yang berdiri menggunakan syal hitam menutupi wajahnya. Foley kemudian bicara, dia mengatakan tidak akan bisa melihat keluarganya lagi. Kemudian pasukan ISIS berbicara menggunakan aksen Inggris.

"Kami tentara perjuangan," kata ISIS. Setelahnya, mereka membunuh Foley. Aksi ini pun dikecam sejumlah kalangan.

Mantan Presiden Amerika, Barack Obama juga sempat mengutuk keras aksi tersebut. Dia menyebut ISIS memiliki "ideologi nihilisme". Hal ini sejalan dengan pendapat para ilmuwan sosial yang mengatakan aksi ini merupakan tanda penolakan moralitas dan ketidakpedulian antar sesama manusia, seperti dilansir NPR, Rabu (21/12/2016). 

Penyakit mental dan fanatisme agama sering digunakan untuk menjelaskan kenapa teroris rela mengorbankan keluarga, masa depan bahkan kehidupan mereka sendiri. Hal ini, menurut ilmuwan sosial mendorong kaum muda yang mengaku 'pejuang' ini untuk bersama-sama memikat anak muda lainnya dari negara-negara yang jauh untuk bergabung dengan dalih 'membela agama'.

Menariknya, seorang antropolog yang fokus memberikan saran mengenai teroris di PBB dan Gedung Putih, Scott Atran, mengatakan, perlu memahami motivasi pejuang ISIS untuk mengatasi mereka. Dan sepertinya ada aspek psikologis yang bisa terbaca.

"Seperti kita yang ingin diakui 'orang yang hebat'. Bisa dilihat dari anggota militan dan kelompok agama adalah orang yang sama," katanya.

Cukup meresahkan bila melihat secara psikologis, teroris melakukan tindakan kekerasan tersebut tidak terganggu atau dicuci otak. Atran bahkan mengatakan, Dewan Keamanan PBB menyebut kalau sebagian besar relawan asing dan pendukung teroris ini disebut memiliki 'distribusi normal' karena memiliki empati, belas kasih, idealisme sehingga mereka ingin membantu walaupun dengan menyakiti orang lain.

Psikolog telah menemukan bahwa pelaku bom bunuh diri juga biasanya direkrut jika mereka tidak memiliki gangguan jiwa. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh psikolog Israel Ariel Merari dan rekan-rekannya pernah mewawancarai 15 calom pembom bunuh diri Palestina yang tidak dapat menyelesaikan misi mereka. Mereka ini keburu ditangkap pihak keamanan. Namun setelah diselidiki, tidak ada satupun dari mereka yang menunjukkan psikotik.

Yang paling mengejutkan, Merari dan rekan-rekannya melaporkan bahwa kurang dari setengah calon pembom memiliki kecenderungan bunuh diri. Hal ini membuat setiap studi mengenai teroris menjadi sulit karena sampel yang terlalu kecil. Sementara ketika teroris sering memanggil Tuhan, banyak ilmuwan sosial yang menilai bahwa ini dipicu oleh ekstremisme agama yang skeptis sehinga bisa  menjelaskan mengapa orang melakukan aksi teror.

Atran mengatakan, keyakinan agama tidak menjelaskan mengapa sekelompok mahasiswa kedokteran muda Inggris-Sudan meninggalkan karir mereka dan menjadi petugas medis untuk ISIS atau mengapa ada anggota tim sepak bola mendaftar menjadi pelaku bom bunuh diri. Atran mengatakan orang-orang muda ini memiliki 'nilai radikal'.

"Mereka mencari makna dalam hidup dan menemukan itu melalui teman-temannya yang berbagi idealisme," ujar Atran.

ISIS sendiri merekrut 'pejuang' dengan menjanjikan mereka kemuliaan, petualangan dan "tujuan" yang mungkin dianggap menarik bagi banyak orang muda di seluruh dunia.

Di antara pola pikir mereka ada sebuah keyakinan bahwa dunia adalah bencana, bahwa perubahan damai tidak mungkin ada, bahwa pengorbanan diri itu mulia, yang mulia membenarkan cara bermoral, dan bahwa cara ini menciptakan utopia.

Banyak orang yang bukan bagian dari kelompok teroris memiliki pandangan yang sama, menurut peneliti. Misalnya, banyak orang setuju sampai batas tertentu  ada cara terbaik untuk mati membela keyakinan. Dan tindakan ekstrem dapat memulihkan kebajikan dan kebenaran di dunia.

Atran mengatakan, ISIS bekerja melalui jaringan sosial yang ada. Mereka mahir memanfaatkan idealisme. Sebuah survei terbaru dari media sosial ISIS menemukan pengikut asing mereka kini lebih banyak dari kalangan remaja atau dewasa muda.

"Perekrut sering menghabiskan ratusan jam untuk memburu orang-orang muda. Mereka kemudian berbagi pikiran dengan orang muda ini seperti bagaimana mereka melihat dunia dan apa yang telah mereka lakukan selama hidup di dunia. Teroris percaya, mereka bisa membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik," kata Atran.

Atran mengatakan, ini adalah fakta penting dalam memahami psikologi teroris yang sulit dimengerti kebanyakan orang. Para peneliti yang mempelajari kelompok teroris menunjukkan bahwa masyarakat dapat menangkal pola pikir yang rentan terhadap radikalisasi dengan mengajarkan anak-anak mengenai nilai-nilai seperti menjadi nyaman dengan ketidaksempurnaan dunia, toleransi perbedaan, dan tidak mengidealkan utopia (suatu khalayan untuk menuju kesempurnaan).

 

Video Terkini