Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap menolak kehadiran program studi Dokter Layanan Primer (DLP). Program studi setara spesialis ini dirasa tumpang tindih dengan yang lain.
"Dalam membuat sebuah program studi baru tidak boleh tumpang tindih, misalnya dengan program studi lain. Nah, DLP ini konten pendidikannya sekitar 80 persen sudah ada dalam pendidikan dokter keluarga," kata Ketua Umum IDI Prof. Dr. I. Oetama Marsis, SpOG(K) di Jakarta pada Rabu (11/1/2017).
Baca Juga
Lebih lanjut Marsis mengungkapkan ketika membuat sebuah program studi yang baru itu sebenarnya harus memiliki minimal lebih dari 60 persen konten pendidikan baru. Sehingga nanti dokter yang mempelajari hal tersebut saat lulus memiliki kompetensi berbeda.
Advertisement
"Kalau 80 persen (konten pendidikan) sudah ada, tentunya tidak betul," papar pria berkacamata ini.
Di Indonesia, pendidikan dokter keluarga bukanlah pendidikan yang melalui program spesialisasi. "Namun merupakan pendidikan dalam praktik di komunitas yang dipadukan dengan program Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berlanjut (P2KB)," tutur Bidang Pendidikan Kedokteran Masa Kini dan Mendatang IDI, Muhammad Akbar dalam kesempatan sama.
Kehadiran program studi DLP ini juga ditakutkan bakal menghadirkan konflik horizontal antar dokter di layanan tingkat pertama.
Terkait hal ini, IDI menawarkan solusi yakni bagi dokter yang telah menyelesaikan pendidikan dokter sesuai kurikulum, harus menyesuaikan dan mengupdate ilmu melalui P2KB terstruktur oleh organisasi.
Lalu, pemenuhan pelayanan kesehatan di level primer tidak hanya akan tercapai dengan pemenuhan kompetensi pendidikan kedokteran saja. Sehingga perlu juga dukungan sarana dan prasana diagnostik, ketersediaan obat, distribusi dokter merata.