Sukses

Obesitas Musuh Anak Sejak dalam Kandungan

Obesitas anak yang merugikan pertumbuhan hingga dewasa nanti, ironisnya, terjadi sejak anak terjadi sejak di dalam kandungan.

Liputan6.com, Jakarta Rafifah Aisya Maheera selalu berseri saat dirinya bertemu tamu yang datang ke rumah. Bocah 4,5 tahun ini tak pernah luput tersenyum untuk menyapa orang baru. Gigi putih, bibir mungil, dan pipi tembam berpadu saat dirinya tersenyum.

Orang yang baru kenal tak akan menyangka, jika Rafifah masih berusia di bawah lima tahun. Tinggi badannya mencapai 115 sentimeter dan beratnya sekitar 37 kilogram. Ukuran badannya jauh lebih tinggi dan besar dibanding teman-teman sepermainannya.

“Kalau sama anak-anak di komplek ini paling gede," kata Shreya Maya, ibunda Rafifah kepada Liputan6.com, Rabu, 18 Januari lalu.

Sekilas, tak ada yang aneh dari bocah ini. Tinggi dan berat badan Rafifah, diakui Maya, merupakan turunan genetis dari keluarga suaminya. Namun, jika diperhatikan lebih detil, ada yang aneh dari Rafifah. Lipatan hitam melingkar di lehernya. Lipatan itu juga terdapat di sejumlah sudut tubuh Rafifah.

Maya tak pernah ambil pusing dengan lipatan-lipatan itu. Bagi Maya, lipatan tersebut biasa terjadi di badan anak gemuk. Apalagi, Maya memang menginginkan anak yang gemuk, sebagai tanda anaknya sehat dan lucu. “Kalau liat anak semok kan senang ya,” ujar Maya.

Menurut Maya, Rafifah lahir normal dengan berat badan 3,5 kilogram dan panjang 49 sentimeter. Tapi hingga menjelang tiga tahun, Rafifah kerap sakit dan bolak-balik ke rumah sakit. Tubuhnya mengurus dan membikin dia dan suaminya khawatir.

Selepas diinfus, Rafifah mulai sembuh. Maya yang punya keinginan anaknya gemuk, mulai melalukan segala upaya biar si buah hati tak kembali kurus. Ia memberikan sejumlah makanan dan susu. Belakangan, Rafifah mulai tak doyan makan, apalagi makan nasi.

Rafifah, kata Maya, hanya doyan minum susu. Sebagai ibu muda, Maya mengaku kurang pengalaman. Ia pun terus memberikan anaknya susu formula. Rupanya, susu formula jadi kegemaran Rafifah. Hampir 11 botol susu diisap si bocah sejak usia tiga.

"Susunya memang over banget. Kalau malam itu suka gelisah," ungkap Maya.

2 dari 5 halaman

Kekhawatiran muncul

Keinginan Maya agar anaknya gemuk terus dibiarkan. Apalagi, banyak orang bilang tubuh gemuk Rafifah justru lucu. Maya pun terlena dan membiarkan berat badan anaknya terus bertambah.

Belakangan, kekhawatiran mulai bergelayut di benak Maya. Dokter dan ahli gizi yang ia datangi, meminta dirinya dan suami mengawasi pola makan si buah hati. Sebab, berat badan Rafifa sudah melebihi batas normal. “Eh ternyata kalau kebablasan enggak bagus dan sehat,” tutur Maya.

Impian anak berbadan gemuk rupanya menjadi keinginan banyak orangtua. Bahkan tak sedikit dari orangtua yang sebal dan merasa gagal, ketika anaknya dibilang mungil. Asumsi anak gemuk sebagai anak sehat tampaknya sudah melekat di benak orangtua.

Tirta Prawita Sari, Dokter Spesialis Gizi Klinik dari Rumah Sakit Pondok Indah, mengatakan, ada perspektif yang salah terkait kondisi tubuh seorang anak. Perspektif anak harus gemuk justru menimbun persoalan yang mengancam status kesehatan anak.

Wita mengatakan, perspektif tersebut tak lepas dari situasi masyarakat Indonesia yang sempat mengalami kekurangan gizi. Sehingga, kata dia, anak yang gemuk kerap dianggap lucu dan sehat.

“Anak yang tidak chubby dianggap ada masalah (padahal berat badannya normal). Itu salah paham besar,” kata dokter Wita.

Jika ditelaah lebih lanjut, kata Wita, tubuh gemuk yang dimiliki seorang anak justru mendekatkannya kepada obesitas. Parahnya, masalah obesitas ini tak banyak dipahami orangtua. Sehingga, orangtua salah dalam menjaga nutrisi mereka dan buah hati.

Wita mencontohkan, salah pola makan pada ibu hamil saat mengandung. Menurut Wita, kondisi ini bisa membuat Ibu kurang asupan gizi sehingga anak yang dilahirkan mengalami gangguan metabolik. Anak yang mengalami gangguan metabolik ini tak bisa sembarangan menerima asupan gizi. Kadarnya, kata Wita, harus sama seperti saat di dalam kandungan.

Jika anak tersebut mendapatkan kadar yang lebih, Wita mengatakan, respon tubuh anak tersebut akan menimbun lemak sehingga anak menjadi obesitas. "Karena dia sudah berada dalam program metabolik yang salah, " jelas Wita.

3 dari 5 halaman

Situasi obesitas anak di Indonesia

Saat ini, obesitas menjadi salah satu perhatian dari Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat (Ditjen Kesmas), Kementerian Kesehatan. Doddy Izwardi, Direktur Gizi Masyarakat di Ditjen Kesmas menerangkan, angka anak yang mengalami obesitas mencapai delapan persen secara nasional. Angka ini berarti, 8 dari 100 anak Indonesia mengalami obesitas.

Angka tersebut, kata Doddy, jelas menjadi pekerjaan rumah. Sebab, angka tersebut masih lebih besar dibanding ambang batas yang diterapkan World Health Organization (WHO), terkait obesitas yakni kurang dari lima persen.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 melaporkan, angka anak obesitas di Indonesia terus mengalami kenaikan di setiap tahunnya. Angka prevalensi anak obesitas pada 2007 diperkirakan sebesar 10,3 persen. Namun, angka mengalami kenaikan menjadi 11,7 persen pada 2010.

Kenaikan ini terjadi akibat adanya pengaruh gaya hidup dan pola makan di dalam keluarga. Hasil studi yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) terkait pengeluaran belanja rumah tangga pada 2015, sebesar 26,7 persen penduduk Indonesia mengeluarkan uang untuk makanan dan minuman jadi.

Angka ini lebih besar bila dibandingkan dengan pengeluaran untuk membeli bahan makanan yang tercatat 23,5 persen.

Ironisnya, Riskesdas pada 2007 terkait prevalensi gemuk pada balita miskin dan kaya menyatakan kondisi anak gemuk bukan lagi terjadi pada status ekonomi tinggi. “Persoalan gemuk ini sangat tipis perbedaannya antara yang miskin sama yang tidak miskin. Padahal sering kita bilang yang miskin dia kurus, yang kaya gemuk, tapi disini nggak seperti itu,” kata Doddy kepada Liputan6.com.

Doddy mengungkap kebiasaan membeli makanan dan minuman jadi saat ini sudah menjadi pola asuh orangtua kepada anak.

Tak banyak ibu yang sengaja memasak untuk buah hati mereka. “Anak pulang sekolah, ibunya tidak masak lalu ibunya kasih uang dan menyuruh anaknya beli makanan di warteg sebelah,” ucap Doddy mencontohkan.

Potret tersebut banyak terjadi di kota besar seperti di DKI Jakarta. Ibu kota yang dipenuhi dengan fasilitas lengkap serba modern ini menjadi wilayah dengan angka obesitas anak tertinggi di Indonesia.

Riskesdas 2013 mencatat, anak yang mengalami kelebihan berat badan di DKI Jakarta sebesar 16,1 persen dan anak obesitas mencapai 14 persen.

Dari studi yang dilakukan Direktorat Gizi Masyarakat, 70 persen penyebab obesitas anak berasal dari perilaku dan lingkungan. Sarana transportasi yang sangat mudah, pesatnya industri makanan dan minuman cepat saji, serta malasnya olahraga menjadi indikator dari perliaku dan lingkungan.

Sementara perbandingan penyebab obesitas yang berasal dari genetik hanya 30 persen.

4 dari 5 halaman

Salah pola asuh

Dokter Wita bersepakat dengan hasil riset tersebut. Bagi dia, temuan tersebut kian menguatkan ada kesalahan dan peran orangtua dalam pencegahan obesitas terhadap anak. Ini tampak dari kurangnya kesadaran orangtua akan gizi seimbang dan gaya hidup orangtua dalam mendidik anak.

Dalam hal ini, kata Wita, ada peran penting orangtua untuk memberikan nutrition education kepada anak sejak dini. Orangtua atau pengasuh anak di rumah juga harus tahu apa jenis makanan yang baik dan yang buruk untuk dikonsumsi.

Tak kalah penting, pola asuh dalam membentuk pola makan yang diterapkan orangtua kepada anak sangat perlu diperhatikan. Sebab, selama ini secara tak disadari banyak orangtua melakukan kesalahan fatal.

“Kebanyakan orangtua itu suka sekali memaksa anaknya makan. Padahal, memaksakan anak makan itu akan menimbulkan trauma psikologis,” ujar Wita.

Tingginya angka obesitas menyisakan pertanyaan, bagaimana mengatasi supaya angka tersebut tidak terus merangkak. Menurut Dokter Wita, obesitas secara teknis bisa dicegah dengan terus memantau pertumbuhan. Seperti timbang berat badan, rajin mengukur tinggi badan, dan memiliki kurva pertumbuhan yang dilakukan setiap bulan.

Yang menjadi soal buat Wita, bukan akar penyebab obesitas. Karena ada masalah kesehatan yang akan dihadapi anak-anak obesitas ini di masa depan. Wita mengatakan, anak-anak obesitas ini dihantui masalah penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, hipertensi, jantung, yang akan melanda anak pada usia dewasa.

Apalagi dalam Riskesdas 2013 terungkap, sejumlah PTM ini mengalami kenaiakan sejak 2007. “Semakin dia mendekati usia dewasa dan dia tetap obes, maka kecenderungan untuk PTM akan besar,” kata Wita menegaskan.

5 dari 5 halaman

4 Pilar utama cegah obesitas anak

Terkait pola makan, Doddy punya pandangan serupa yaitu gizi seimbang. Utamanya, orangtua harus paham betul dengan kondisi anak mereka sebelum menerapkan empat pilar ini.

Yang perlu ditekankan, lanjut Doddy, mengonsumsi pangan beraneka ragam, membiasakan perilaku hidup bersih, melakukan aktifitas fisik, dan mempertahankan serta memantau berat badan normal.

Jauh sebelum anak dilahirkan, Doddy menegaskan, ibu harus diberikan pengetahuan tentang insiasi menyusui dini (IMD). Sebab, pemberian ASI Eksklusif nol hingga enam bulan merupakan langkah terbaik untuk mencegah obesitas pada anak.

"Praktik inisiasi menyusui dini, kurang dari satu jam ini penting karena ada zat gizi yang hebat di situ, yaitu kolostrum (mengandung banyak gizi dan zat-zat pertahanan tubuh) yang bisa menghilangkan stres ibu hamil dengan bayinya dan penguat gizi seimbang untuk anak," kata Doddy.

Secara ilmiah, Doddy menerangkan, anak usia nol sampai enam bulan harus menerima ASI saja, bukan susu formula.

Pemberian susu formula yang banyak dan terus menerus akan menyebabkan tubuh anak menjadi gemuk. Ini karena laktosa yang terkandung dalam susu formula, banyak mengandung gula dan lemak. Sedangkan organ pencernaan anak belum sempurna, sehingga tidak mampu mengolah gula dan lemak tersebut secara sempurna.