Sukses

Benarkah Prevalensi Gizi Buruk di Jakarta Masih Tinggi?

Benarkah prevalensi gizi buruk masih membayangi DKI Jakarta?

Liputan6.com, Jakarta Ada anggapan prevalensi gizi buruk masih membayangi DKI Jakarta. Benarkah? Meski bukan termasuk provinsi dengan gizi buruk dan kurang yang tinggi se-Indonesia, namun data Dinas Kesehatan DKI Jakarta mencatat, Jakarta ternyata masih memiliki masalah persoalan gizi.

Dari laman Dinkes 2015, setidaknya ada 937  balita berada  dibawah  garis  merah dari 158.405 balita yang ditimbang.

Dibandingkan  data  tahun  sebelumnya,  persentase  balita  dengan  status  gizi  buruk  di Provinsi   DKI   Jakarta   pada   tahun   2015   meningkat   sebesar   0,91 persen.   Angka   ini didasarkan  pada  hasil  penimbangan  balita  yang  dilaporkan. 

Balita  dengan  gizi  buruk terbanyak ada di wilayah Kepulauan Seibu dan Jakarta Utara dengan jumlah sebesar 19 Balita dengan gizi buruk di kepulauan seribu.

Menurut status gizi balita tersebut, dari lima wilayah Jakarta, status gizi buruk paling banyak ada di Jakarta Barat dengan 473 balita dari 75.262 yang ditimbang. Disusul dengan Jakarta Utara dengan 253 anak dari 24.091 balita yang ditimbang. Selanjutnya, Jakarta selatan dengan 98 anak dari 36.468 balita yang ditimbang. Jakarta Pusat dengan 980 anak dengan 16.419 yang ditimbang serta Jakarta Timur dengan 14 anak dari 5.521 jakarta Timur.

Gizi buruk dan kurang pada anak bisa menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang cukup serius. Sebut saja menganggu proses tumbuh kembang anak. Bahkan anak yang mengalami gizi buruk di masa bayi berpotensi mengalami penurunan IQ di masa depan karena kemampuan kognitif tidak bekerja optimal. Dampak lainnya adalah anak akan berpostur tubuh pendek.

Kendati demikian, data Riskesdas 2013 menunjukkan, masalah gizi buruk tak hanya terjadi di Jakarta mengingat secara keseluruhan, prevalensi stunting (anak pendek) di Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur paling rendah.

Sedangkan ada provinsi lain yang memiliki kondisi gizi buruk yang cukup serius seperti Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur. Tidak berubahnya prevalensi status gizi, kemungkinan besar belum meratanya pemantauan pertumbuhan, dan terlihat kecenderungan proporsi balita yang tidak pernah ditimbang enam bulan terakhir semakin meningkat dari 25,5 persen (2007) menjadi 34,3 persen (2013).Â