Liputan6.com, Jakarta Tindakan tiga orang mahasiswa yang tengah berunjuk rasa di depan Istana Negara pada Oktober 2016 mendapat banyak kecaman. Tak lain karena ketiga mahasiswa berjaket hijau tersebut memotong ayam, lalu darahnya disiramkan ke foto Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla.
Ketua Garda Satwa, Fanny Wiriatmadja, mengatakan, tindakan menyembelih binatang--dalam hal ini seekor ayam--bukanlah tindakan yang patut dilakukan sekelompok manusia yang mengaku berpendidikan.
Advertisement
Baca Juga
Terlebih setelah menyembelih binatang tak berdosa itu, darahnya digunakan untuk menodai foto pemimpin negeri ini. Menurut Fanny, tindakan itu tidak saja melanggar hukum, tapi juga norma dan etika.
"Dan dengan mengunggah dokumentasi ke media sosial berpotensi besar untuk menjadi bahan yang akan ditiru oleh pihak lain," kata Fanny kepada Health Liputan6.com ditulis Jumat (17/2/2017)
Â
Â
Unjuk rasa harus dengan etika
Setiap warga negara, siapa pun dia, punya hak untuk menyuarakan kekecewaan dengan cara berunjuk rasa. Namun, tidak elok apabila dalam aksi menyampaikan pendapat itu diikutsertakan satwa yang kemudian disembelih dan digunakan untuk hal yang tidak dibenarkan.
Bagi Fanny, kita sebagai manusia harus menyadari bahwa satwa sama halnya dengan kita yang mempunyai hak untuk hidup. "Penggunaan satwa sebagai media untuk berunjukrasa tentunya menyakiti banyak pihak, selain satwa itu sendiri," ujarnya.
Fannya dan teman-teman dari Garda Satwa, sebuah wadah yang bergelut di dunia penyelamatan satwa, tentu mengutuk keras tindakan para mahasiswa yang berdemo itu.
"Satu nyawa terbuang sia-sia oleh sekelompok manusia bodoh yang haus darah. Mahasiswa dan generasi muda, yang seharusnya ada di sisi kami untuk membela hak satwa agar mencapai kesejahteraan, malah melakukan tindakan jahat yang memberikan contoh buruk," kata Fanny yang berharap ada tindakan tegas dari penegak hukum.
Manusia pada dasarnya harus mampu bersikap adil terhadap apa pun yang ada di sekitarnya, termasuk satwa. Sebagai sosok yang disebut sebagai khlifah di muka bumi, ada baiknya manusia untuk berhenti mengeksploitasi satwa apa pun alasannya.
Fanny menekankan, sebaiknya manusia memberikan satwa-satwa sesuatu yang memang biasa mereka dapatkan dalam mengekspresikan perilaku alaminya.
"Saya cuma berharap, penegak hukum tidak tinggal diam akan hal itu. Bahaya soainya," ujar Fanny
Sebab, sudah sepatutnya mahasiswa yang dianggap sebagai pemuda yang berpendidikan dan pintar, memberikan contoh yang baik ke penerusnya. Namun, apa yang bakal terjadi apabila tindakan yang perlihatkan malah yang seperti ini. Jelas ini berbahaya.
"Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa orang yang suka menganiaya satwa, juga tak sungkan menganiaya manusia," kata Fanny.
Advertisement
Menyiksa hewan sama sekali tak intelek
Â
Sedangkan Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, melihat perilaku ketiga orang mahasiswa ini sebagai tindakan yang tidak mencerminkan intelektualitas sama sekali. Mereka malah memperlihatkan ke masyarakat sebuah tindakan yang bodoh, yang tidak nalar sama sekali.
Hamdi mengatakan, tindakan sadis yang mereka lakukan dengan menyembelih satwa tidak seharusnya mereka pertontonkan. "Lagipula, menyembelih hewan ada adabnya, juga untuk keperluan yang lazim (buat dikonsumsi)," kata Hamdi.
Apabila mahasiswa yang derajatnya lebih tinggi ingin mengkritik kinerja pemerintah, cobalah yang sesuai dengan predikat yang mereka sandang. "Mereka ini kan mahasiswa, calon intelektual, seharusnya mengkritik dengan basis intelektual pula. Kenapa mereka tidak membuat paper dengan argumen yang kuat? Minimal cukup menuliskan apa-apa yang ingin dituntut dari pemerintah," ujar Hamdi menambahkan.
Dengan argumentasi ilmiah yang kuat, tekan Hamdi, itu baru sesuai kelas mahasiswa.
"Hati-hati juga, Presiden dan Wakil Presiden adalah simbol negara. Ada Undang-undang yang berisi akan mempidana siapa saja yang menghina lambang negara," kata Hamdi menjelaskan.