Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menerbitkan buku putih yang berisi penolakan Dokter Layanan Primer (DLP).
"IDI sangat memahami bahwa layanan primer adalah tulang punggung sistem kesehatan nasional. IDI paham bahwa untuk mencapai tujuan kesehatan nasional penguatan layanan primer adalah harga mati,"Â ujar Ketua Umum IDI, Prof.Dr. l. Oetama Marsis, Sp,0G melalui keterangan pers, Jumat (21/4/2017).
Baca Juga
Namun sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, satu substansi yang sangat menyita energi banyak pemangku kebijakan adalah terkait program studi Dokter Layanan Primer (DLP).
Advertisement
Persoalannya, kata dia, benarkah pendidikan formal DLP yang memakan waktu dan membutuhkan biaya besar ini merupakan terapi kausal pada benang kusut yang terjadi di Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)?
Benarkah penyelenggaraan pendidikan DLP yang panjang dan mahal ini mampu mengangkat peringkat Indonesia dari keterpurukan?
Apakah tidak ada cara lain yang lebih efektif dan efisien? Dalam situasi negara seperti ini, keputusan yang salah dapat membawa kerugian material, sosial, spiritual yang fatal sehingga dapat menyebabkan penderitaan masyarakat.
Marsis mengingatkan, istilah Dokter Layanan primer (DLP) ini, dalam penelusuran hampir seluruh dokumen penjalanan UU itu, baik pada Naskah Akademik UU maupun pada Draf RUU 21 Maret 2011 dan Draf RUU versi tanggal 16 Maret 2012, tidak terdapat satu pasal pun mengenai jenis profesi dokter layanan primer mau pun program studi DLP.
Dari kajian risalah sidang pembahasan RUU, sepaniang pembahasan sejak 2011 hirgga 2013 telah 19 kali pertemuan dari lokakarya, rapat dengar pendapat umum (RDPU), rapat dengar pendapat (RDP), rapat panja termasuk di dalamnya rapat tim penrmus (timus), tidak pernah ada pembahasan mengenai DLP meliputi definisi, jenis profesi baru DLP, program studi DLP mau pun kurikulum DLP.
Materi mengenai DLP baru disisipkan oleh pemerintah di dalam rapat tim perumus (timus) dan langsung disepakati dalam 1 sesi sidang pagi pukul 10.15-13.00 WIB, 26 Juni 2013. Mengapa disebut penyisipan?
Tim perumus panja RUU harusnya hanya merumuskan redaksional dari pokok-pokok substansi yang disepakati dalam pleno panja RUU, tidak boleh menambahkan substansi baru. Namun pembahasan dalam tim perumus (timus) RUU Pendidikan Kedokteran ini membuktikan praltik yang berbeda dari kelaziman.
Asumsi bahwa Program studi DLP untuk mengatasi tingginya rujukan ke rumah sakit tidak didukung data. Data Nasional Rasio Rujukan peserta BPJS dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), baik tahun 2015, maupun 2016, menunjukkan bahwa angka rasio total rujukan dari FKTP masih di bawah patokan BPJS 15%, yaitu 12 %.
Rujukan tinggi terjadi di lokasi tertentu lebih disebabkan karena kurangnya sarana dan prasarana, masih rendahnya kapitasi dibanding biaya pelayanan dan karena atas permintaan sendiri. Selain itu, defisit anggaran BPJS yang terjadi dalam dua tahun terakhir adalah terjadi karena fenomena adverse selection dan karena besarnya penderita penyakit  katastropik.
"Penyakit katastropik timbul karena Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) belum berjalan, bukan karena kurangnya dokter di FKTP," katanya.
Untuk itu, Buku Putih IDI Menolak Program Studi DLP ini dibuat sebagai sikap ilmiah terbuka IDI. Di dalam buku ini terdapat beberapa rekomendasi seperti:Â
Rekomendasi IDI
1. IDI mengusulkan agar penambahan kompetensi pada dokter umum dilakukan melalui modul terstruktur, melalui P2KB, karena lebih cepat, kontekstual dengan kebutuhan lokal, dan lebih cost effective.
2. Pemerintah perlu memprioritaskan--dengan bantuan dari FK yang berakreditasi A-untuk memperbaiki peringkat FK lainnya yang masih berakreditasi B dan C.
3. Menurut IDI, lebih cost effective jika pemerintah menggunakan tenaga lulusan ahli kesehatan masyarakat yang sudah tersedia lebih banyak jumlahnya untuk memperkuat fungsi promotif dan preventif serta menaikkan anggaran untuk infrastruktur UKM.
4. Pemerintah mestinya memfasilitasi agar jumlah klinik dan dokter praktik yang bekerja silma dengan BPJS bisa bertambah untuk, sehingga bisa menjamin penyediaan fasilitas pelayanan cukup, dan otomatis mengurangi beban Puskesmas datram IJKP, sehingga dan Puskesmas mampu bisa mengerjakan UKM yang selama ini masihterabaikan.
5. IDI mengusulkan reformasi pendidikan kedokteran, melalui subsidi biaya pendidikan, rekruitment calon dokter, proses pendidikan yang membuat dokter terbiasa bekerja di pedesaan, dan lama pendidikan yang cost effictive, bukan dengan memperpanjang masa pendidikan.
6. IDI mengusulkan agar pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana FKTP milik pemerintah dan menaikkan biaya kapitasi, sehingga kualitas pelayanan bisa lebih baik.
7. Pemerintah sebaiknya lebih baik mencari solusi agar seluruh pekerja informal, mandiri, PBPU bersedia mau menjadi peserta BPJS. Pemerintah harusnya mulai berfokus pada lulusan ahli kesehatan masyarakat, dan meningkatkan anggaran UKM.
8. IDI mengajukan revisi UU nomor 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, agar masalah ketidakharmonisan ini bisa diselesaikan. Saat ini telah masuk dalam Prolegnas 2015-2019 sebagai usulan dari DPR RI.
9. Progaram studi DLP tidak perlu didirikan dan Universitas yang berminat mengembangkan karir dokter umum lebih baik mengembangkan program spesialis kedokteran keluarga.
Selain Buku Putih DLP, Pengurus Besar IDI juga telah menerbitkan 3 buku panduan yaitu :
1. Buku Penataan Sistem Pelayanan Kesehatan PrimerÂ
2. Buku Penataan Sistem Pelayanan Kesehatan Rujukan
3. Buku Penyusunan Remunerasi DokterÂ
Ketiga buku tersebut saat ini masih menjadi buku untuk kalangan terbatas.
Advertisement